"Dia anakmu, Mas?" tanya Nawang pada Doni, lelaki berpeci yang berjalan dengan kaki diseret di sisinya. Mata perempuan 33 tahun itu tak lepas mengikuti sosok gadis kecil berjilbab ungu panjang yang melangkah riang, mendahului dengan kaki mungilnya yang lincah.
Doni mengikuti arah pandangan Nawang. Dia mengulum senyum menatap Zahra, putri kecilnya. Mati-matian Doni menahan butiran yang mulai menggenang pada kedua matanya. Rasanya baru kemarin lelaki gagah itu gemetar ketakutan di ruang bersalin, saat melihat tubuh mungil bayi Zahra kebiruan. Tak hanya itu, tangis pertamanya pun tanpa suara.
Doni lemas ketika dokter mengatakan kecil kemungkinan anaknya akan bertahan hidup. Terlalu banyak masalah sejak dari dalam kandungan. Tapi toh, itu sudah berlalu. Lihatlah, Zahra kini tumbuh sama normalnya seperti anak-anak lain. Sempat divonis tuna wicara, kini malah dianugerahi kecerewetan luar biasa. Sejak sebulan lalu, dia sudah merengek pada Doni minta dibelikan baju baru yang cantik untuk Salat Id perdananya.
"Dia anakmu, Mas?" Nawang mengulang pertanyaannya karena Doni tak kunjung menjawab. Namun Doni, pikirannya sudah melayang ke masa lalu tanpa bisa ia cegah.
***
Januari, 2016
Doni akhirnya menemukan gadis itu. Nawang, dia di sana. Termenung di bantaran kali, ditemani teriknya raja siang ibu kota. Beruntung, sebatang palem botol berdaun cukup lebar mampu menaunginya.
"Menyerahlah, Na," kata Doni. Suara tenornya tampak berhasil membuyarkan lamunan Nawang.
"Mas Doni?" Nawang benar-benar terkejut. Sudah hampir setengah tahun dia tak bertemu Doni. Bagaimana mungkin pemuda itu tahu keberadaannya?
Doni melangkah mendekat, lalu duduk tepat di sebelah Nawang. Nawang memerhatikan, ada yang aneh dengan cara berjalan Doni. Dia tampak tertatih, kaki kanannya seperti diseret.
"Oh ini," kata Doni begitu melihat tatapan 'kau-kenapa' Nawang pada kakinya. "Ikut operasi pekat bulan lalu. Bentrok dengan yang punya kafe, aku terkena peluru nyasar. Lumayan juga, kena syaraf."
Nawang mengangguk tanda mengerti. Matanya dilayangkan pada air kecokelatan di bawah sana, lalu mengalihkan pembicaraan. "Mau apa mencariku, Mas?"
"Bukankah sudah kubilang tadi? 'Menyerahlah, Na'. Kau sudah tidak bisa lari lagi," kata Doni.