"Si Ilham, kan jomblo juga. Jangankan nancepin cinta, nancepin batang singkong aja nggak numbuh." Kemudian terdengar gelak tawa dari bibir Ayah Sarah.
"Bedebah! Gini-gini gak asal nancep juga, keles."
"Orientasimu itu nggak jelas, Dik. Mentang-mentang anak elektro, mainnya ACDC."
Tuk. Jitakan mendarat di kepala kakak pertamaku. Tapi aku tersenyum bahagia. Itu balasa karena menjitakku tadi, batinku.
Bila dibiarkan, verbal bully bagi para tuna asmara ini akan semakin menjadi-jadi.
"Bu, Mas Akbar sama Mas Ilham mulai nakal," rajukku pada ibu. Ia melempar senyum pada ayah. Keduanya terus berjalan beriringan. Lengan ayah melingkar di bahu ibu.
Aku sempat membayangkan, ayah dan ibu melakukan kontak batin. Mereka akan menggunjingkan anak-anaknya yang ternyata telah tumbuh dewasa. Tapi aku yakin, anak-anak yang sudah tidak anak-anak ini akan tetap menjadi anak kecil di mata mereka. Ulah kami memang begitu, selalu begitu.
Ah, ulah bedebah-bedebah macam inilah yang aku rindukan selama di perantauan. Kini bahagiaku makin sederhana, berkumpul bersama keluarga saat hari raya.
***
Anak Kita - by: Arako
Â
Idulfitri 2022