"Ta, tapi...," Nawang mendebat. "Bagaimana karirmu? Tidakkah menjadi aib, seorang polisi yang menikahi perempuan ja--"
"Na," potong Doni. "Dengarkan aku. Aku akan mengundurkan diri dari kepolisian. Kakiku sudah tidak mungkin kembali pulih. Hanya akan merepotkan rekan yang lain. Jika kau menerima lamaranku, kita akan pindah ke desa yang sama sekali baru. Kita akan memulai segalanya dari awal. Kau bersedia?"
Nawang menangis. Air matanya tak tertahankan lagi. Betapa ingin hatinya menjawab iya. Betapa kehangatan sejuta musim panas selalu menjalari sekujur tubuhnya setiap kali bertemu dengan lelaki di hadapannya ini. Namun.... Kenyataan kadang bisa sangat kejam.
"Aku tidak bisa, Mas," kata Nawang tersendat. Hatinya sakit seperti dijejali beribu lembar daun serai. "Aku.... di perutku..., ada anak haram yang aku sendiri tak ingat siapa ayahnya!"
***
"Aw, aduh!" Doni tersandung kerikil karena tak memerhatikan langkahnya. Beruntung Nawang sigap menahan dengan tangannya hingga tak sampai terjatuh.
"Mas Doni!" seru Nawang. "Hati-hati dong!"
Doni terkekeh. Dia senang tangan Nawang melingkari pinggangnya. Tak lagi memedulikan tetangga mereka yang ber-ciye-ciye ria melihat kemesraan keduanya.
"Hey, Na. Kau tadi bertanya, apa dia anakku?" tanya Doni begitu tetangga yang sama-sama baru pulang shalat sudah mendahului.
Nawang mengangguk.
"Bukan," jawab Doni. Dia terdiam sejenak, menghela napas panjang dan pelan-pelan menghembuskannya. "Dia bukan anakku, Na. Dia Zahra, anak kita."
Â
Palembang. Bulan hujan 2016.