"Apa itu, Mang?" jawab Julaeha dengan muka penasaran.
"Hamdan suka sama Julaeha, apa boleh Hamdan jadi pacar Julaeha?" Begitu gemetarnya Hamdan dengan ucapannya.
"Saya gak boleh pacaran sama Abah, Mang," jawab singkat Julaeha.
"Tapi kamu gak punya pacar atau calon suami?" Hamdan kembali bertanya.
"Belum, Mang," kembali Julaeha menjawab dengan singkat.
Jawaban Julaeha yang ambigu dan singkat membuat Hamdan bingung, namun perilaku Julaeha menandakan ia juga menyukai Hamdan. Mungkin karena larangan Abahnya untuk berpacaran sehingga Julaeha tidak menerima Hamdan sebagai pacarnya. Akan tetapi, dalam hati Julaeha juga menyukai Hamdan walaupun hanya seorang supir angkot yang biasa mengantarnya.
Tahun ketiga, hubungan mereka semakin erat. Walaupun hubungan mereka tanpa status, namun kebiasaan Hamdan mengantar jemput Julaeha bahkan sampai ke kampus tempat Julaeha belajar, padahal tidak ada trayek angkot yang seharusnya ia lewati karena angkot Hamdan bukan angkot dalam kota melainkan angkot bagian desa ke terminal saja, membuat Julaeha merasa terkesan dan menimbulkan benih-benih cinta pada Hamdan.
Suatu hari, berita tentang hubungan Julaeha dan Hamdan terdengar sampai ke telinga Abahnya, yaitu Kiyai Soleh. Salah satu staf pondok pesantren melaporkannya, setelah mendapatkan info dari supir-supir yang ada di terminal.
Dalam suasana pengajian kitab kuning yang diajarkan Kiyai Soleh setiap sore, staf pondok yang mengetahui berita itu lalu menyampaikannya kepada Kiyai Soleh. Kiyai Soleh pun kaget dan langsung memerah mukanya, tanda ia menahan emosi mendengar cerita dari staf pondok tersebut.
eusai pengajian, Kiyai Soleh menanyakan keberadaan Julaeha kepada istrinya. "Di mana Julaeha, Mi?" tanya sang Kiyai kepada istrinya. "Belum pulang," jawab istri Kiyai Soleh.
"Sudah sore begini belum pulang?" teriak Kiyai Soleh dengan nada yang cukup membuat istrinya kaget.