Banyaknya tanah yang dibutuhkan untuk menimbun jalan desa itu lah yang meninggalkan cekungan yang dalam dan tidak pernah kering walaupun musim kemarau panjang terjadi. Dan sekarang cekungan yang dalamnya kurang lebih 5 – 10 meter itu disebut dengan “danau kibekan”.
Penduduk pun mulai lega, rawa-rawa yang telah tertutup jalan itu selesai bersamaan pada saat musim kemarau tiba. Aliran sungai yang mulai menyusut menyebabkan masyarakat mulai mengalihkan transportasi sungai ke darat dan melalui jalanan yang telah dibuat oleh rakyat desa.
Belanda begitu senang dan mengadakan pesta rakyat guna menyambut penggunaan jalan desa itu. Mobil-mobil angkutan pasukan Belanda yang didusun disebut dengan Mobil Eskimal (Kepala Betok) berjejeran ditengah desa.
*****
Tidak lama musim kemarau pun berganti...
Rintik-rintik hujan mulai menetes ke bumi... suara kilat mulai menyambar, suara petir pun menggelegar (di desa kami dikenal dengan “petir pemecah kemarau”). Kerasnya suara petir itu menyurutkan langkah para penduduk desa dan membuat mereka untuk tetap berada didalam rumah.
Hujan yang terjadi hampir semalaman itu pun mulai reda... penduduk yang tadinya dilanda rasa takut, selepas subuh dipagi buta itu mulai berani menampakkan batang hidungnya... semuanya berteriak bersamaan... “banjir.., banjir..., banjir”.
Sahut-sahutan suara penduduk itu memecah suasana hening dipagi buta itu. Rumah-rumah panggung yang berada diseputaran cekungan hasil galian itu hampir semuanya dijangkau air.
Rasa cemas begitu melanda penduduk desa... pada saat itu keluar lah seorang pemuda gagah nan alim yang menjadi panutan banyak penduduk desa terutama para kaum hawanya.
Dengan tenang sosok pemuda elok itu turun dari rumahnya yang sekarang posisinya mungkin diseputaran Mesjid Nur Hidayah. Dia mengambil perahu yang baru dibuat dan diikatkan dibawah rumahnya.
Pemuda itu dengan kalem menyambangi rumah penduduk satu per satu dan menitipkan satu pesan yaitu “nanti malam ba’da maghrib kita berkumpul di mesjid didekat sungai lubai yang kebetulan tidak digenangi air”. Dengan sabar, satu per satu rumah penduduk pun disambangi olehnya dan menyampaikan pesan yang sama.