Perbincangan digital dimulai. Mereka berbincang - bincang cukup lama. Berbicara tentang apa saja seperti layaknya dua manusia yang sedang memadu kasih. Bahasa ini terlalu sinetron, tapi biarlah namanya juga fiksi. Dialog mereka terhenti ketika Fita harus kembali fokus ke pekerjaannya. Gikri memutuskan untuk bermain komputer.
Seharusnya Gikri makan siang, tetapi uangnya telah menipis jauh dari waktu yang seharusnya. Ia memilih menunda makan hingga pukul lima sore. Biar sekalian makan malam, pikirnya. Matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah notifikasi di aplikasi situs jejaring sosial. Ajakan untuk ikut berpartisipasi membuat kolaborasi fiksi.
"Bikin cerita fiksi yuk!" Gikri mengajak Fita menulis cerita fiksi.
"Iyah! Kita nulis ini aja Gik! Seolah - olah kita tetangga kosan, gue sama lo sama - sama memiliki asumsi tentang perilaku seks tetangga kosan, tapi salah semua. Misal nih, gue menyangka lo orang baik - baik, terus suatu hari gue bawa cowok gw ke kamar, terus gue takut ketahuan sama lo, lo juga gitu. Lo berpikir gue cewek baik - baik, lo juga ngumpetin cewek di kamar. Jadi kita berdua sama - sama nakal. Tapi berusaha terlihat sebagai orang baik - baik. Kasarnya, kita munafik."
"Hmmm okay."
"Aneh ga?"
"Ga aneh kok."
"Tapi?"
"Iya ga aneh, jadinya ga spesial. Jadinya menurut gue itu biasa."
"Ooohh, oke."
"Semua orang pasti pengen karyanya bagus. Monumental. Kan nanti pasti heboh tuh jadinya. Kalau cerita tentang selangkangan, orang skizo, cinta, orangtua dan anak, mimpi, sampe power ranger, pasti terlihat biasa. Kenapa? Karena semuanya berusaha untuk bagus. Jadi menurutku kita nulis tentang hal remeh aja. Jadinya nanti luar biasa. Hahaha!"