Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Fikri, Kamu Siapa?

1 Desember 2010   07:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:08 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tidak begitu ingat wajahnya, tapi saya masih hafal nama lengkapnya. Tingginya setengah jengkal lebih rendah dari saya. Badannya juga kurus, lebih dari saya. Tasnya penuh, terlihat berat. Rambutnya belah tengah mirip anak rohis kebanyakan. Seragamnya kebesaran dan selalu rapi tampak baru. Ganteng? Saya yakin saya jauh lebih rupawan dibanding dia. Saya serius. Sangat serius.

Pertama kali saya berkenalan semiggu setelah kelas dimulai, anak baru katanya. Introduksi itu dilakukan setelah pulang sekolah. Tentu saja di warung tegal sebelah. "Mamat", sambil menyodorkan tangan. Sayangnya dia tidak merokok, pajak anak baru jadi tidak berlaku. Ia mengaku satu kelas dengan saya. Ia ikutan nongkrong di sana. Anehnya, sepuluh menit sebelum jam pelajaran dimulai, ia pergi. Padahal sudah tradisi kalau anak - anak yang nongkrong di sana selalu bareng melewati pagar sekolah ketika bel berbunyi. Tradisi tidak penting yang dibenci guru.

Di dalam kelas, saya tidak melihat Mamat, katanya ia sekelas dengan saya. Cabut, pikir saya. Setelah pulang sekolah dan nongkrong beberapa lama, Mamat muncul. Ia datang dari entah. Lalu saya membuka dialog.

"Wah baru seminggu udah cabut aja lo, parah lo"

"Engga cabut kok, tadi gue ada di kelas kok. Gue duduk di pojok kelas. Lo ga liat gue kali"

"Ah engga, gue serius ga liat lo! Parah banget lo, baru juga seminggu udah cabut, haram banget lo jadi orang! Parah bet parah", hahaha saya tidak percaya kosakata SMA saya sudah demikian kayanya.

"Engga, Fik. Gue ada kok. Kelas 2-2 kan? Wali kelasnya Bu Hadrah?"

"Iya"

Saya dan Mamat berhenti sampai di sana. Tidak meneruskannya.

***

Esok harinya, saya mencari namanya dalam buku kehadiran kelas. Nihil. Namanya tidak ada. Mungkin karena dia anak baru sehingga Mamat tidak tercantum. Kelas juga tidak ada yang mengenal nama Mamat. Bukan, bukan Mamat Sumamat namanya. Ini dibuat Mamat dari awal untuk melindungi identitasnya.

Sore hari ketika kelas sudah bubar, rutinitas nongkrong tidak terlewati. Saya dan beberapa teman dan adik kelas menuju warung tegal bersamaan. Lagi - lagi Mamat muncul entah dari mana.

"Lo cabut lagi ya?"

"Engga, gue ada kok. Gue aja ngeliat lo kok"

"Emang lo duduk di mana?"

"Kan udah gue bilang kemaren, gue duduk di pojok"

"Ya udah kali kalo cabut bilang aja, selow sama gue"

"Engga gue ada, tadi pelajarannya kan kimia, bahasa indonesia, matematika, sama biologi kan?"

"Ya ya ya"

Setelah dialog itu ia menjauh dari saya.

***

Mamat jadi sering nongkrong di warung tegal. Aktivitasnya selalu sama. Datang pagi hari dan menghilang sebelum bel masuk, dan sudah berada ketika sekolah bubar. Tapi saya tidak pernah melihatnya sama sekali di dalam lingkungan sekolah. Yang menarik adalah ia mengikuti aturan sekolah, misalnya hari Kamis ia memakai batik sekolah, hari Jumat ia juga memakai baju muslim, kadang - kadang ia semacam sengaja mengeluarkan seragam olahraga dari dalam tasnya.

Ia hafal nama teman sekelasnya. Ia hafal nama guru - guru. Ia juga hafal jadwal pelajaran tiap harinya. Bahkan ia hafal tugas dan PR yang diberikan guru. Tidak dengan saya. Saya tidak peduli PR. Haha. Padahal ia tidak pernah satu ruangan kelas dengan saya. Saya mulai mencari tahu siapa sebenarnya Mamat. Terdengar seperti acara reality show.

Informasi dan data -maaf terbawa arus, saya sedang skripsi- mengenai Mamat bermacam - macam. Dari yang masuk logika sampai irasional. Ada teman yang bilang kalau Mamat adalah murid SMA 28 namun sudah kena drop out karena narkoba, karena penipuan, karena inilah, karena itulah. Ada yang bilang Mamat adalah orang pshyco. Ada yang bilang Mamat adalah intelejen yang menyamar. Sampai Mamat sudah mati, yang saya lihat hanya arwahnya. Aneh.

Mamat semakin sering nongkrong. Sebenarnya tidak ada masalah dengan itu. Mamat tidak pernah mengganggu. Cuma menurut saya aneh. Mengaku sekelas tapi tidak pernah sekelas. Dan aktivitas menghilang sebelum bel masuk yang membuat semakin aneh. Teman - teman yang sepernongkrongan juga tidak ada yang peduli. Mungkin hanya saya. "Ya udeh kali fik, skut aja, woles, kemek yuk, malem minggu gaur yuk", artinya "ya udah fik, diem aja, santai, makan yuk, eh malem minggu anggur yuk".

***

Saya tidak mengetahui apa maksud Mamat. Saya mempelajari latar belakangnya, lalu rumusan masalah, tujuan, dan sistematika, serta metode -sekali lagi maaf, skripsi memang menyebalkan- kemunculan Mamat di samping sekolah. Buntu. Informasi yang beredar terlalu liar.

Akhirnya saya mencoba mengobrol dengan Mamat. Cita - cita itu terpenuhi di suatu sore.

"Mat, lo udah mau bacut belum?"

"Belum, emang kenapa?"

"Gue mau ngomong ama lo"

"Ya udah ngobrol aja"

"Hmm, gini ya Mat, gue sama sekali ga pengen ganggu privasi lo. Gue tahu lo bukan anak 28, lo kenapa ngaku - ngaku?"

"Gue anak 28 kok, kalo bukan ngapain gue beli batiknya, gue beli seragam muslimnya, gue beli buku pelajarannya, gue beli seragam olahraga?"

"Lah kok nanya gue, ngapain lo beli? Lo emang bukan anak 28, terus ngapain beli?"

Dia terlihat ketakutan. Lalu mencoba menghindar. Harus pulang ibunya menunggu, katanya. Saya mengalah.

***

Ia lama tidak terlihat setelah saya mencoba berdialog dengannya. Lama sekali. Lalu, ketika agenda pembagian raport, Mamat datang. Bersama ibunya. Sekali lagi. bersama ibunya. Saya kaget. Mereka berdua sempat sarapan di warung tegal. Saya ada di sana. Beberapa kali saya mencuri dengar dialog mereka. Ibunya ingin sekali mengambil raport, Mamat tidak. Ia konsisten beralibi agar ibunya tidak ikut masuk ke dalam sekolah. Mamat mengalah.

Saya tertarik mengetahui kejadian apa selanjutnya sehingga saya menyudahi merokok dan mengekor mereka beberapa meter. Kebetulan juga saudara saya sudah datang di sekolah untuk tujuan yang sama dengan ibu Mamat. Saya melihat dari luar kelas.  ekspresi wali kelas saya berubah ketika Mamat dan ibunya datang. Dahinya berkerut.

"Wah anak ibu belum bayar SPP, coba ibu ke tata usaha dulu untuk melunasi"

"Baik Bu"

Ternyata kalimat itu terulang lagi ketika saya masuk. Hahahaha.

"Fikri, kamu bayar SPP dulu sana gih"

"Iya, Bu, tunggu sebentar yaa. Tapi ini sepupu saya langsung ambil raport aja, nanti buktinya biar saya yang ngasih ke ibu"

"Udah sana buruan!"

"Iya Bu!"

Untungnya kartu SPP tidak pernah saya keluarkan dari tas sekolah. Warnanya kecoklatan padahal seharusnya kuning. Haha. Saya menuju bagian tata usaha, sekali lagi, beberapa meter di belakang Mamat dan ibunya. Begitu sampai di loket, saya mengurus administrasi. Begitu juga Mamat di loket sebelah. Saya penasaran, akhirnya bertahan di depan loket untuk menyimak adegan selanjutnya walaupun administrasi sudah beres.

"Bu saya mau bayar SPP"

"Mana kartunya?"

"Ketinggalan, Bu"

"Ya udah, siapa namanya?"

"Mamat"

"Kok ga ada di absen? Anak baru ya?"

"Iya Bu, anak baru"

"Loh kamu kan dari kelas satu, bukan anak baru?", ibunya intervensi.

"Ga tahu juga, Bu"

"Nih absennya, nama kamu yang mana?", petugas tata usaha menyerahkan daftar presensi.

"Ga ada Bu"

"Kok bisa ga ada, coba cari yang bener!", ibunya mulai terlihat panik.

"Iya ga ada, Bu"

Adegan selanjutnya adalah guru olahraga menghampiri mereka. Berbincang sebentar dan membawa mereka ke arah kantor guru. Saya berusaha mengikuti tapi dimarahi. Haha. Akhirnya saya kembali ke kelas untuk menyerahkan bukti pembayaran SPP ke wali kelas.

Saya tidak tahu apa yang terjadi di dalam kantor guru. Yang saya tahu hanya ibunya histeris menangis, sambil sesekali memukuli Mamat setelah meninggalkan ruangan.

------

*semenjak saat itu Mamat tidak pernah muncul lagi

[jogjakarta. 28 November 2010. 03:37 AM. fikri]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun