"Gue anak 28 kok, kalo bukan ngapain gue beli batiknya, gue beli seragam muslimnya, gue beli buku pelajarannya, gue beli seragam olahraga?"
"Lah kok nanya gue, ngapain lo beli? Lo emang bukan anak 28, terus ngapain beli?"
Dia terlihat ketakutan. Lalu mencoba menghindar. Harus pulang ibunya menunggu, katanya. Saya mengalah.
***
Ia lama tidak terlihat setelah saya mencoba berdialog dengannya. Lama sekali. Lalu, ketika agenda pembagian raport, Mamat datang. Bersama ibunya. Sekali lagi. bersama ibunya. Saya kaget. Mereka berdua sempat sarapan di warung tegal. Saya ada di sana. Beberapa kali saya mencuri dengar dialog mereka. Ibunya ingin sekali mengambil raport, Mamat tidak. Ia konsisten beralibi agar ibunya tidak ikut masuk ke dalam sekolah. Mamat mengalah.
Saya tertarik mengetahui kejadian apa selanjutnya sehingga saya menyudahi merokok dan mengekor mereka beberapa meter. Kebetulan juga saudara saya sudah datang di sekolah untuk tujuan yang sama dengan ibu Mamat. Saya melihat dari luar kelas. Â ekspresi wali kelas saya berubah ketika Mamat dan ibunya datang. Dahinya berkerut.
"Wah anak ibu belum bayar SPP, coba ibu ke tata usaha dulu untuk melunasi"
"Baik Bu"
Ternyata kalimat itu terulang lagi ketika saya masuk. Hahahaha.
"Fikri, kamu bayar SPP dulu sana gih"
"Iya, Bu, tunggu sebentar yaa. Tapi ini sepupu saya langsung ambil raport aja, nanti buktinya biar saya yang ngasih ke ibu"