Mohon tunggu...
Fikri alfarabi
Fikri alfarabi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Pengen jadi novelis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

What Am I

12 Desember 2022   10:04 Diperbarui: 12 Desember 2022   10:28 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah tiga hari selama saya melewati jalan yang sama ketika pulang bekerja, saya melihat kamu di sana, duduk tercenung seperti memikirkan hal yang begitu berat. Terkadang pula kamu menangis, lalu sesudahnya kamu akan mengusap air mata dan pergi dari sana. Ini hari keempat saya ada di sini dan kamu masih di tempat yang sama. Perlu empat hari bagi saya mengumpulkan keberanian untuk menghampirimu. Mungkin kamu tidak tahu, tetapi setiap senin dan kamis pagi jam delapan kita sering berpas-pasan di lift lantaran berada di satu atap yang sama. Hanya saja ruangannya yang berbeda. Katakanlah saya seorang pengecut yang payah. Saya tidak berani menyapa dan berpura-pura tidak mengenali dirimu yang kalau boleh jujur menjadi pusat perhatian saya akhir-akhir ini. Akan tetapi, hari ini saya bulatkan tekad untuk mendatangimu. Paling-paling datang menghibur dengan segelas kopi yang saya beli di indomaret terdekat.

Setelah menghembuskan napas dan membuangnya untuk menenangkan diri yang diajarkan oleh bawahan saya. Brian namanya, sebenarnya dia hanya anak magang yang kebetulan saya kenal. Kami berada di satu perusahaan yang sama rupanya. Saya datang menghampirimu. Kamu terlihat kaget dan saya hanya menampilkan senyum idiot yang saya punya. Kamu tau? Saya belum pernah pacaran, hidup saya terlalu serius selama ini dan saya baru sadar sekarang, penyesalan yang tidak pantas disebut penyesalan.

Sebagai perempuan yang duduk sendirian jam sepuluh malam jelas kamu terlihat sangat was-was. Sebagai lelaki saya paham akan sikapmu itu, tetapi tak apa. Saya tidak marah, kalau saya jadi kamu tentu saya melakukan hal yang sama.

"Kehadiran saya bikin kamu tidak nyaman?" adalah pertanyaan yang sewajarnya saya ajukan. Bukannya malah aneh bila saya bilang saya bukan orang jahat?

Kamu menarik kedua sudut bibirmu. Berusaha untuk tersenyum. Maaf, ya, bila saya membuatmu takut?

"Saya bisa pergi kalau kamu tidak suka kehadiran orang lain di sini."

"Tidak apa, saya juga butuh teman cerita," katamu lagi-lagi tersenyum. Awalnya saya tidak percaya. Namun, gelagatmu yang terlihat biasa saja membuat saya yakin. Benar, kan, saya tidak mengganggu kamu?

"Tadi saya beli kopi kelebihan, kamu mau?" tanya saya menyodorkan segelas kopi padamu. Alih-alih curiga kamu malah mengambilnya dengan suka cita.

"Makasih, ya, kebetulan saya juga haus," katamu seraya menancapkan pipet di tutup plastik kopi tersebut lalu menyeruputnya lega.

"Kopi ini selalu enak, saya suka beli kalau lagi lembur.

"Kamu suka kopi?" tanya saya kagum. Jarang-jarang saya menemui wanita yang menyukai kopi lantaran kopi memiliki rasa pahit yang khas.

"Dari dulu saya suka, soalnya waktu kuliah saya suka begadang. Eh, keterusan sampe sekarang. Kamu sendiri, bagaimana?"

Saya tersenyum ketika kamu menanyakan hal seperti itu pada saya. Jika kamu tahu, senyum saya ini sangat tulus dari hati. Saya cukup terhibur dengan respon baik yang kamu berikan, seakan hari ini adalah hari keberuntungan bagi saya.

"Kopi sudah seperti hidup saya. Bikin candu seakan saya nggak bisa hidup kalau tidak meminumnya barang sehari."

"Dulu saya juga begitu, tapi kebanyakan minum kopi juga nggak sehat," katamu menoleh ke arah saya. Lalu tiba-tiba meminta saya merentangkan telapak tangan. Dalam kebingungan yang terlihat jelas saya menurut. Beberapa permen rasa kopi ada di tangan saya. "Ganti pake ini. Sama aja kok rasanya kayak minum kopi biasa."

Saya tercenung lantas menaruhnya di kantung coat saya yang berwarna coklat tua. "Terima kasih," balas saya tersenyum. Jujur saja, rasanya sangat malu.

Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dan percakapan yang berakhir begitu cepat dari biasanya, kamu bangkit dari tempatmu dan menatap saya yang masih terpaku.

"Kei, ayo kita pulang." Deg, tak terkira kagetnya ketika kamu menyebutkan nama saya tanpa ragu. "Setiap senin dan kamis pagi jam delapan kita selalu berpas-pasan. Nama kamu tertulis jelas di kartu nama yang selalu kamu kalungin di leher," jelasmu menunjuk leher saya yang kebetulan tidak mengenakan kartu nama hari ini. Lagian untuk apa? Saya tidak sedang di kantor.

Saya benci ketika sudut bibir saya selalu membentuk senyuman, namun tidak bisa menyembunyikan perasaan senang yang saya rasakan. Bukankah kebahagiaan itu harus diterima dengan suka cita?

"Saya pikir kamu tidak sadar kalau kita selalu berpas-pasan di lift. Tapi maaf, saya belum tau nama kamu," kata saya mengutuk diri sendiri atas kebodohan. Bisa-bisanya saya tidak tahu namamu. Kenapa saya sebodoh itu, ya?

"Nama saya Hina. Senang berkenalan dengan kamu, kei."

"Senang juga berkenalan dengan kamu, Hina," balas saya sambil tersenyum.

Saya tidak tahu bagaimana caranya melampiaskan rasa bahagia yang berapi-api dari lubuk hati saya. Rasanya ingin berteriak. Lamun, saya malu pada kamu, nanti kamu ilfeel dan mengatakan bahwa saya sangat norak. Perlahan saya merutuki diri sendiri yang pernah berkata kalau teman saya bernama Jenny sangat lebay begitu lamarannya diterima oleh pujaan hatinya. Ternyata saya tidak jauh berbeda dengannya. Memang, manusia itu baru mengerti setelah merasakannya sendiri. Jika saya cerita pada Jenner, dia pasti menertawai saya habis-habisan.

Malam ini ditemani taburan bintang dan angin malam, hati saya berbunga-bunga. Apa lagi ketika langkah kita beriringan untuk pulang.

Tepat sebulan setelah malam itu, kita lebih sering bertemu. Menghabiskan banyak waktu berdua dan kadang kala membuka obrolan tidak penting, atau hanya sekadar mengirimi sumpah serapah pada dunia. Waktu yang saya habiskan bersamamu rasanya kian cepat, dan saya jadi kesal dibuatnya. Jatuh cinta itu ternyata semenyenangkan ini rasanya.

"Kei, malam ini ingin makan malam di mana?" tanya kamu ketika tanpa sengaja kita bertemu di lorong apartemen yang sudah ramai dilalui oleh orang-orang.

"Kamu inginnya makan apa? Kalau ditanya begini saya suka bingung." Saya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Bingung harus bereaksi bagaimana.

"Makan di apartemen saya bagaimana? Kemarin saya sudah beli bahan makanannya. Kamu belum pernah, kan, rasain masakan saya? Kata ibu masakan saya enak."

"Mau saja jika tidak merepotkan." Saya menjawab seakan menolak, padahal aslinya saya sangat senang. Belum pernah sebelumnya saya merasakan masakan perempuan mana pun selain buatan ibunda tercinta tentu saja.

"Tidak repot, kok. Kalau gitu nanti malam ke apartemen saya aja, ya?"

Saya mengangguk hingga akhirnya kita berpisah lantaran berada di tempat kerja yang berbeda. Rasanya ingin resign di tempat saya sekarang dan menyusul kamu di sana.

"Malam, Kei," sapa Hina begitu saya hendak memasuki pintu utama apartemen. Saya kaget bertemu dengan dia di sini. Saya pikir dia sudah pulang sedari tadi.

"Ayo langsung ke apartemen saya," katanya membuat saya bertambah malu. Setelah saya menceritakan ini pada Jenny dan juga Daska, mereka malah membuat pikiran saya ke mana-mana, padahal ini hanya undangan makan malam dari Hina. Tidak lebih dari itu, kan?

Rapi adalah penilaian saya pertama kali ketika memasuki apartemen milik Hina, berbeda jauh dengan apartemen saya yang agaknya bisa dikatakan berantakan. Saya bukannya pemalas, tetapi kata Daska, "kamu itu emang nggak bisa rapi, Kei. Sudah dari sananya begitu". Dan saya akan mengangguk membenarkan. Nyatanya memang begitu.

"Coat kamu digantungin aja di sana." Hina menunjuk stand hanger dari kayu yang terletak di belakang pintu. Saya hanya bisa menurut dan kembali duduk di sofa setelahnya. Hina menatap saya dan tersenyum ramah.

"Kamu tau kenapa saya suka duduk di taman bermain jam sepuluh malam?"

Benar, setelah hampir sebulan mengenal Hina saya belum menanyakan hal ini padanya. Kenapa dia kerap kali terlihat sedih jika duduk di sana dan menangis sesenggukan? Saya sama sekali tidak tahu.

"Saya baru ingin menanyakannya padamu, tapi lupa terus."

"Di tempat itu saya berantem dengan calon suami saya, dan sampai sekarang pun hubungan kami tak kunjung membaik," jelasnya sembari menatap saya berkaca-kaca. Hina menghentikan aktivitasnya mencuci sayuran di wastafel. "Saya lupa, kamu mau minum apa?"

Ingin saya berkata kopi, namun melihat keadaan Hina yang seperti ini saya tidak tega. Dia sedang sedih dan saya tidak ingin membebani batinnya.

"Saya tidak haus, kalau haus saya bisa ambil sendiri," balas saya terdengar canggung.

Perlahan Hina menangis sesenggukan. Perempuan itu tiba-tiba memeluk saya tanpa sebab. Apa yang harus saya lakukan untuk perempuan yang sedang menangis?

"Saya bingung Kei, ibu udah nanya kapan saya akan menikah. Teman-teman kantor udah nanyain kapan undangan akan disebar akibat mulut bersumbar saya." Lagi-lagi Hina menangis dan semakin erat memeluk saya. "Saya harus apa, Kei?"

Saya hanya diam tidak tahu harus bagaimana. Sejujurnya saya tidak pernah ada di posisi gadis itu. Maaf Hina, saya memang payah. Yang saya lakukan hanyalah membiarkan Hina menangis tanpa memberi solusi apa pun. Hal ini pasti berat untuknya.

Cukup lama Hina menangis hingga kembali tenang seperti semula. Dia mengusap wajahnya yang basah oleh air mata lalu memaksakan senyumnya untuk saya. Pandangan kami beradu untuk beberapa detik. Wangi parfum di tubuhnya masih melekat kuat hingga sekarang. Untuk sesaat saya tergoda, apa lagi ketika netra kurang ajar saya menatap bibir milik gadis itu yang terlihat menggoda. Tidak, saya tidak ingin menjadi lelaki yang seperti itu.

Kei.., panggil Hina pelan. Gadis itu tak urung jua berpaling dari pandangan saya. She malah mendekat menggugah iman yang berusaha saya pertahankan.

Perlahan saya pun melakukan hal yang sama, mendekati wajahnya dan mencium wangi parfumnya yang menggoda. Mata saya dengan kurang ajarnya malah menilik pada leher jenjang milik gadis itu. Ketika bibir saya hampir menyentuhnya, Hina menjauh. Gadis itu menggeleng putus asa.

"Maaf Kei, saya tidak bisa," balasnya menjauhi saya dan segera beranjak. "Lebih baik kamu pulang. Maafkan saya," katanya lagi membuat saya terpaku. Apakah saya kecewa? Tapi kenapa? Apakah saya sudah jatuh cinta pada gadis pecinta kopi ini?

"Kalau begitu saya pamit. Maaf jika saya merepotkanmu."

Dengan perasaan hampa, saya membuka pintu apartemen dan tak lupa mengambil coat saya yang tergantung di stand hanger kayu tersebut. "Saya pulang," lirih saya pelan.

Sejak malam itu, saya dan Hina jarang bertemu. Gadis itu tak lagi saya lihat di tempat pertama kami berbincang, dan kami tidak bertemu lagi di hari senin dan kamis pagi jam delapan. Apakah saya kecewa? Tentu saja. Kata Jenny, Hina hanya butuh waktu dan saya harus menghargai keputusannya. Wejangan Daska pula yang mengatakan bahwa saya harus bersabar, jangan terburu-buru. Jika memang jodoh, maka tak akan ke mana.

Apakah memang begitu?

pintu lift baru saja terbuka dan saya kaget mendapati Hina ada di dalam. Gadis itu menatap saya dari atas hingga bawah. Lantas tersenyum setelahnya.

"Sudah lama saya tidak melihat kamu," katanya tersenyum simpul.

Hina mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan menyerahkannya pada saya. Itu surat undangan pernikahan. Nama Hina dan Yuuji tertera di sana.

"Saya dan Yuuji hanya butuh komunikasi. Harusnya saya lakukan sejak awal. Bukannya mendiamkannya begitu saja. Lusa saya akan menikah, jangan lupa datang, ya, Kei?"

Hina menilik saya sekilas lantas beralih menilik jam tangannya dan ekspresi kaget terpampang di wajahnya. "Saya bisa terlambat, saya pamit dulu, ya, Kei. Semoga kamu cepat menyusul."

Hina melambaikan tangannya setelah memunggungi saya. Saya tersenyum getir lantas menatap undangan itu lamat-lamat. Jadi, begitu, ya? Saya ini di matanya bukan apa-apa. Tapi tak apa, seperti kata bapak, sebagai laki-laki, saya harus bisa ikhlas merelakan apa pun yang saya pikir adalah milik saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun