Rapi adalah penilaian saya pertama kali ketika memasuki apartemen milik Hina, berbeda jauh dengan apartemen saya yang agaknya bisa dikatakan berantakan. Saya bukannya pemalas, tetapi kata Daska, "kamu itu emang nggak bisa rapi, Kei. Sudah dari sananya begitu". Dan saya akan mengangguk membenarkan. Nyatanya memang begitu.
"Coat kamu digantungin aja di sana." Hina menunjuk stand hanger dari kayu yang terletak di belakang pintu. Saya hanya bisa menurut dan kembali duduk di sofa setelahnya. Hina menatap saya dan tersenyum ramah.
"Kamu tau kenapa saya suka duduk di taman bermain jam sepuluh malam?"
Benar, setelah hampir sebulan mengenal Hina saya belum menanyakan hal ini padanya. Kenapa dia kerap kali terlihat sedih jika duduk di sana dan menangis sesenggukan? Saya sama sekali tidak tahu.
"Saya baru ingin menanyakannya padamu, tapi lupa terus."
"Di tempat itu saya berantem dengan calon suami saya, dan sampai sekarang pun hubungan kami tak kunjung membaik," jelasnya sembari menatap saya berkaca-kaca. Hina menghentikan aktivitasnya mencuci sayuran di wastafel. "Saya lupa, kamu mau minum apa?"
Ingin saya berkata kopi, namun melihat keadaan Hina yang seperti ini saya tidak tega. Dia sedang sedih dan saya tidak ingin membebani batinnya.
"Saya tidak haus, kalau haus saya bisa ambil sendiri," balas saya terdengar canggung.
Perlahan Hina menangis sesenggukan. Perempuan itu tiba-tiba memeluk saya tanpa sebab. Apa yang harus saya lakukan untuk perempuan yang sedang menangis?
"Saya bingung Kei, ibu udah nanya kapan saya akan menikah. Teman-teman kantor udah nanyain kapan undangan akan disebar akibat mulut bersumbar saya." Lagi-lagi Hina menangis dan semakin erat memeluk saya. "Saya harus apa, Kei?"
Saya hanya diam tidak tahu harus bagaimana. Sejujurnya saya tidak pernah ada di posisi gadis itu. Maaf Hina, saya memang payah. Yang saya lakukan hanyalah membiarkan Hina menangis tanpa memberi solusi apa pun. Hal ini pasti berat untuknya.