“Sebenarnya aku ingin mengutarakannya sejak kemarin, tapi ku kira sekaranglah waktu yang tepat. Sejak awal aku bertemu denganmu, aku merasa aku mulai tertarik denganmu. Maka aku lebih sering bermalam di perpustakaan ini, untuk menemuimu. Apa kau mengizinkannya jika aku mendampingimu?” tangannya meraih sebuah bunga yang sedikitnya telah gugur akibat kepanikannya tadi.
Kala itu, Ben mengikrarkan cintanya di perpustakaan ini, tempat dimana aku pernah mengalami hal yang tak pernah ku inginkan, direstui oleh ratusan buku yang terkemas dalam rak buku, namun sepasang kaca jendela pun tiba-tiba pecah. Aku melihat Bram diiringinya.
“Cinta kita ternyata tidak ringan, mereka saja tak sanggup menanggungnya.” Balasku menunjuk pada sepasang jendela yang telah hancur berkeping.
***
Evly.
Aku menundukkan kepalaku. Lalu melipatkan kedua kakiku dan ku biarkan kedua tanganku memeluknya. Mencoba menerawang hal-hal janggal. Mengapa orang yang saling jatuh cinta harus jatuh terlebih dahulu sebelum mendapatkan cintanya? Mengapa mereka yang hanya bermain dengan kekasihnya diberi jalan lebih mudah untuk menempuhnya? Mengapa waktu tak pernah menjawab semua pertanyaan basi tersebut? Ah, aku menghela nafas.
Tiba-tiba Bram Evandien datang di tengah pertengkaran antara logika dan hati ini.
“Kau sebaiknya menjauhi Ben.” ucapnya menghakimiku.
“Tapi aku tidak bisa.”
“Seharusnya kau membunuhnya, bukan mencintainya!” Bram membentak.
“Tapi, bram-”