“Ah, kau tidak perlu berpura-pura perduli. Kau bahkan meninggalkanku saat sidang berlangsung. Aku memang ditakdirkan untuk tetap berada di tempat ini.”
“Sampai kapan kau tetap mengganggu?”
“Mungkin, saat aku tahu cinta itu bisa mati saat dibunuh.”
“Kau jatuh cinta?”
Aku bungkam saat sang kunang sibuk mencari indungnya.
“Baiklah. Jika kau butuh sesuatu temui saja aku di Balairung sana.”
Mataku tercekat. Nafasku terengah. Tubuhku terasa bagai es yang membeku. Ya, aku menemui diriku yang hampir tak sadarkan diri. Rupanya Bram menghuni tempat ini juga.
Bram Eventhe merupakan salah satu dosenku saat aku menjadi salah satu mahasiswi yang mengambil jurusan Ilmu Ekonomi. Ia tinggal di sekitar kompleks rumahku. Umurnya hanya berbeda 4 tahun denganku. Yang kutahu ia tak memiliki kebutuhan ekonomi yang cukup hingga suatu hari orangtuaku menyarankannya untuk menjadi salah satu dosen di kampusku. Sejak ia diterima menjadi dosen, sikapnya manis kepadaku. Namun, ia tampak sangat membenci keberadaanku sejak ia tahu bahwa aku tak memiliki kecerdasan otak seperti layaknya mahasiswa lainnya. Hingga saat waktu sidang datang, ia tidak membiarku bangga dengan sebuah toga di atas kepalaku. Tangisku pecah sederas hujan yang turun beberapa hari setelahnya. Apakah balas budi itu tidak selalu setimpal?
***
Evly.
Jika aku dapat melihat hujan disertai pelangi, bertemu nada disertai sebuah piano, menjumpai malam disertai bintang, memandang cermin dengan sebuah bayangan, lantas apa suatu hari aku akan menemukan diriku berdampingan dengan seorang kekasih? Ya, karena yang ku tahu jatuh cinta itu indah, menghabiskan hari demi hari merajut untaian kasih sayang hingga membuat semesta iri pada rengut tawa sepasang insan tersebut. Tapi, jika dunia antara aku dan dirinya saja terpisah maka bagaimana ia dapat melirik bola mataku yang indah ini?