Saya berusaha menasehatinya dengan bahasa canda. Anak saya pun mengiyakan sembari tertawa juga.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan aktivitas menulis diary. Saya sendiri merasakan kepuasan dan kesenangan tersendiri ketika menulis diary. Namun, meski demikian jangan sampai aktivitas ini menyita waktu kebersamaan demi menyendiri di kamar.Â
Kita harus tekankan kepada anak, bahwa menulis itu harusnya bisa memberi manfaat bagi kita maupun orang lain. Menulis harusnya bisa mengubah pribadi kita ke arah yang lebih baik lagi.Â
Jika menulis justru menjauhkan kita dari keluarga, membuat kita tidak tenang, membuat kita berimajinasi terlalu tinggi, maka harus dievaluasi, mengapa bisa demikian? Pasti ada yang salah di dalamnya. Bukan aktivitas menulisnya yang salah, tapi bagaimana sikap kita dalam menulis.
Jadi, wajar saja jika anak suka menulis diary. Selain bisa sebagai media untuk menuangkan perasaan dan imajinasinya.
Menulis diary juga dapat melatih otot-otot tubuh kita (terutama tangan) agar lebih kuat dan sehat. Bukan itu saja, secara psikologis, menulis membuat tenang dan bahagia.
Namun, ada baiknya kita juga perlu memperhatikan hal-hal berikut agar hobi menulis diary justru menjadi bumerang yang tidak baik bagi anak:
Pertama, buat kesepakatan dengan anak tentang batas waktu menulis diary. Hal ini untuk melatih anak disiplin dalam jadwal sehari-harinya. Bahwa aktivitas sehari-harinya bukan hanya menulis diary, tapi juga ada aktivitas-aktivitas lain yang harus dikerjakan.
Kedua, ada beberapa diary yang bersifat pribadi atau rahasia. Biasanya bentuk diary-nya memiliki gembok mini dan ada kuncinya.Â
Tentu kita juga harus menghargai privacy anak. Namun, tidak ada salahnya kita sering melakukan komunikasi pribadi bersamanya.Â
Tanyakan tanpa nada memaksa tentang isi diary yang bersifat rahasia tersebut. Misalnya, "Kak, diary-nya kok dikunci segala sih? bunda izin boleh baca gak?" atau "Kak, bunda boleh tebak gak isi diary ini apaaa?", gunakanlah gaya komunikasi yang memancing anak untuk menjawab dan menjelaskan.Â