Namun, di sisi lain ternyata saya juga merasakan kekhawatiran. Kekhawatiran khas seorang ibu pada anaknya. Mungkin ini juga yang dirasakan mama saya kala itu.Â
Ya, saya belakangan kerap terlintas di pikiran negatif, "Ngapain aja sih nih anak hampir seharian di kamar aja? Kok makin hari komiknya makin sarkas ya? Ada kata-kata kasar, ada gambar kekerasan, ada cerita bully-an, ada juga cerita-cerita yang bernada kecewa."
Saya lantas bertanya-tanya, "Kira-kira yang dia tulis itu kejadian nyata atau karangan aja? Jangan...jangaaannn..."
Saya berusaha menepis kekhawatiran dengan sering mengajak anak saya berkomunikasi. Tiba-tiba saya takut, jika keasyikan menulis diary akan berakibat kurang baik terhadap perkembangan psikisnya.
Suatu ketika, saya coba bertanya padanya, "Kak, bunda kemarin gak sengaja baca diary kakak, itu yang ditulis beneran gak sih?"Â
"Ada yang bener bun, ada yang imajinasi aja," jawabnya tenang.Â
Saya kembali bertanya, "Kok ada yang ngumpat sih kak?"Â
Anak saya tetap tenang, "Iya bun, kadang teman-teman gitu padahal itu kan gak baik," jawabnya.Â
Sesaat saya sedikit lega dan berpikir, "Ooo mungkin dia berusaha menuangkan di tulisan bahwa mengumpat itu tidak baik."
Sepintas memang tidak ada masalah dalam diri anak saya. Semua nampak normal. Respon dia pun tidak terlihat aneh. Barangkali itu yang membuat saya sedikit lega.Â
Namun, saya tetap memberikan batasan sama dia, "Iya kak, tapi kakak harus ingat waktu ya kalo lagi nulis diary jangan lupa mandi, lupa makan apalagi lupa diri." Kata saya sembari tertawa.Â