Dulu ketika saya masih remaja, saya paling suka berlama-lama di kamar hanya untuk menulis diary.Â
Setiap peristiwa yang saya alami selalu saya tuangkan ke dalam tulisan di diary. Isinya macam-macam, ada sedih, senang, marah, cemburu, protes, dll.Â
Bentuk tulisannya juga banyak, ada tulisan curhatan, puisi, cerita mini sampai cerita bergambar. Meski beragam, namun intinya tetap menuangkan segala isi hati dan menceritakan aktivitas sehari-hari.
Selain suka menulis di diary, saya juga suka mengoleksi diary. Kalau punya uang, saya tidak tertarik membeli baju, sepatu, tas atau sekadar nongkrong jajan sama teman-teman.
Saya lebih suka membeli diary yang modelnya bagus dan menarik dengan warna-warna yang cantik. Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika bisa memiliki diary yang diinginkan. Sekali membeli saya bisa memborong 4-5 diary.
Namun, di balik kesukaan saya itu, ternyata mama kurang mendukung. Kerap saya mendapat omelan ketika mama tahu saya tengah menulis diary.Â
Mama bilang, "Kok nulis diary aja! Daripada gitu bagus bantu mama nyapu! Lebih bermanfaat bantu orangtua!"Â
Saya tidak pernah menjawab, hanya diam sembari berhenti menulis dan langsung menyambar sapu, menyapu rumah.
Meski tidak melarang secara tegas, namun saya tahu mama kurang suka jika saya beraktivitas menulis.Â
Mama menganggap jika kegiatan menulis hanya buang-buang waktu, tidak ada manfaatnya, tidak menghasilkan apa-apa, dsb. Sebuah anggapan yang menurut saya wajar bagi mereka yang memang tidak hobi menulis.
Tapi, anggapan mama tetiba berubah seketika saat pertama kali mama tahu tulisan saya dimuat di kolom opini salah satu koran terbesar di Jawa Timur kala itu.Â
Dan itulah kali pertama saya mendapat uang dari menulis sebesar Rp 250.000,- waktu itu sudah sangat besar buat saya yang masih baru masuk kuliah.
Hari itu, saya sengaja beli koran pagi-pagi untuk mengecek apakah tulisan saya dimuat atau tidak. Sontak gembira saat saya menemukan tulisan saya terpilih untuk dimuat di koran tersebut.Â
Saya beritahukan sama mama tentang hal itu. Meski awalnya kurang respek, toh ketika tahu tulisan anaknya dimuat beliau juga gembira tiada kepalang.
Sejak itu, mama sedikit berubah. Tidak lagi segalak dulu kalau saya sedang menulis, baik diary, di komputer, dll. Paling-paling mama cuma mengingatkan jangan sampai lupa waktu mandi, makan, sholat, dll.
Refleksi Ketika Menjadi Ibu
Kini saya sudah berumah tangga dan memiliki anak perempuan yang beranjak remaja. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, anak saya juga memiliki kemiripan dengan saya dulu. Hobinya menulis diary.Â
Bedanya, kalau dulu saya hanya fokus menulis bukan menggambar (karena gambar saya jelek) nah anak saya ini menulis diary yang bentuknya komik mini. Ada gambar dan juga cerita kesehariannya. Cukup bagus, karena ternyata dia berbakat menggambar manga.
Melihat hal ini saya seketika berusaha merefleksikan dengan pengalaman saya dulu, di mana mama kurang senang jika saya menulis diary. Kali ini saya justru mengapresiasi hobi anak saya itu dengan positif.Â
Saya tidak melarang bahkan berupaya memfasilitasinya. Apalagi, hobi membuat komik itu unik menurut saya.Â
Saya yakin jika terus diasah dan dikembangkan, bukan tidak mungkin tulisan dan komik-komiknya bisa bermanfaat dan menghasilkan.
Namun, di sisi lain ternyata saya juga merasakan kekhawatiran. Kekhawatiran khas seorang ibu pada anaknya. Mungkin ini juga yang dirasakan mama saya kala itu.Â
Ya, saya belakangan kerap terlintas di pikiran negatif, "Ngapain aja sih nih anak hampir seharian di kamar aja? Kok makin hari komiknya makin sarkas ya? Ada kata-kata kasar, ada gambar kekerasan, ada cerita bully-an, ada juga cerita-cerita yang bernada kecewa."
Saya lantas bertanya-tanya, "Kira-kira yang dia tulis itu kejadian nyata atau karangan aja? Jangan...jangaaannn..."
Saya berusaha menepis kekhawatiran dengan sering mengajak anak saya berkomunikasi. Tiba-tiba saya takut, jika keasyikan menulis diary akan berakibat kurang baik terhadap perkembangan psikisnya.
Suatu ketika, saya coba bertanya padanya, "Kak, bunda kemarin gak sengaja baca diary kakak, itu yang ditulis beneran gak sih?"Â
"Ada yang bener bun, ada yang imajinasi aja," jawabnya tenang.Â
Saya kembali bertanya, "Kok ada yang ngumpat sih kak?"Â
Anak saya tetap tenang, "Iya bun, kadang teman-teman gitu padahal itu kan gak baik," jawabnya.Â
Sesaat saya sedikit lega dan berpikir, "Ooo mungkin dia berusaha menuangkan di tulisan bahwa mengumpat itu tidak baik."
Sepintas memang tidak ada masalah dalam diri anak saya. Semua nampak normal. Respon dia pun tidak terlihat aneh. Barangkali itu yang membuat saya sedikit lega.Â
Namun, saya tetap memberikan batasan sama dia, "Iya kak, tapi kakak harus ingat waktu ya kalo lagi nulis diary jangan lupa mandi, lupa makan apalagi lupa diri." Kata saya sembari tertawa.Â
Saya berusaha menasehatinya dengan bahasa canda. Anak saya pun mengiyakan sembari tertawa juga.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan aktivitas menulis diary. Saya sendiri merasakan kepuasan dan kesenangan tersendiri ketika menulis diary. Namun, meski demikian jangan sampai aktivitas ini menyita waktu kebersamaan demi menyendiri di kamar.Â
Kita harus tekankan kepada anak, bahwa menulis itu harusnya bisa memberi manfaat bagi kita maupun orang lain. Menulis harusnya bisa mengubah pribadi kita ke arah yang lebih baik lagi.Â
Jika menulis justru menjauhkan kita dari keluarga, membuat kita tidak tenang, membuat kita berimajinasi terlalu tinggi, maka harus dievaluasi, mengapa bisa demikian? Pasti ada yang salah di dalamnya. Bukan aktivitas menulisnya yang salah, tapi bagaimana sikap kita dalam menulis.
Jadi, wajar saja jika anak suka menulis diary. Selain bisa sebagai media untuk menuangkan perasaan dan imajinasinya.
Menulis diary juga dapat melatih otot-otot tubuh kita (terutama tangan) agar lebih kuat dan sehat. Bukan itu saja, secara psikologis, menulis membuat tenang dan bahagia.
Namun, ada baiknya kita juga perlu memperhatikan hal-hal berikut agar hobi menulis diary justru menjadi bumerang yang tidak baik bagi anak:
Pertama, buat kesepakatan dengan anak tentang batas waktu menulis diary. Hal ini untuk melatih anak disiplin dalam jadwal sehari-harinya. Bahwa aktivitas sehari-harinya bukan hanya menulis diary, tapi juga ada aktivitas-aktivitas lain yang harus dikerjakan.
Kedua, ada beberapa diary yang bersifat pribadi atau rahasia. Biasanya bentuk diary-nya memiliki gembok mini dan ada kuncinya.Â
Tentu kita juga harus menghargai privacy anak. Namun, tidak ada salahnya kita sering melakukan komunikasi pribadi bersamanya.Â
Tanyakan tanpa nada memaksa tentang isi diary yang bersifat rahasia tersebut. Misalnya, "Kak, diary-nya kok dikunci segala sih? bunda izin boleh baca gak?" atau "Kak, bunda boleh tebak gak isi diary ini apaaa?", gunakanlah gaya komunikasi yang memancing anak untuk menjawab dan menjelaskan.Â
Jika anak tidak keberatan membuka diary-nya atau sekadar menceritakan secara garis besar isi diary rahasianya, maka kita boleh tenang.Â
Tapi jika anak cenderung merasa terusik dan enggan bercerita apalagi mengizinkan membuka diary, maka kita patut untuk waspada dan menelusuri lebih dalam.
Ketiga, arahkan anak untuk menjadikan hobi menulis diary-nya menjadi hal yang manfaat. Jadikan hobinya ini menjadi awal ia belajar menulis.Â
Tanamkan padanya, jika ia menulis untuk kebaikan maka suatu saat nanti tulisan-tulisan itu akan membawa keberkahan dalam hidup.Â
Tingkatkan terus kemampuan anak dalam menulis. Jika diawali dengan menulis diary, bukan tidak mungkin kelak ia akan menjadi penulis best seller.
Keempat, rangsang anak untuk tidak monoton dalam hobi menulis diary-nya. Coba berikan tantangan yang berbeda-beda setiap hari tentang topik menulisnya. Misalnya mencoba ceritakan pengalaman anak masuk kelas baru atau meminta anak mendeskripsikan sosok teman terbaik saat ini, atau pengalaman outbound.
Kelima, jangan lelah memantau perkembangan anak. Kita harus jeli terhadap perubahan-perubahan sekecil apapun itu.Â
Bagaimanapun, aktivitas menulis diary itu sangat berkaitan erat dengan perasaan dan emosional seseorang. Jangan sampai hobi menulis diary justru membuat anak menjadi pribadi yang antipati terhadap lingkungan sekitarnya.
Keenam, berikan kasih sayang yang hangat kepada anak. Hal ini untuk memberikan kesan yang baik pada anak, sehingga anak akan lebih banyak menuliskan hal-hal positif di diary-nya ketimbang hal-hal yang negatif.
Ketujuh, perbanyak komunikasi dan melibatkan anak dalam aktivitas kebersamaan yang menyenangkan, misalnya rekreasi bersama, mengajaknya makan di restoran favorit, menonton bersama atau berdiskusi sambil bermain dan bercanda. Hal ini untuk melatih rasa empati dan jiwa sosialnya terhadap sesama.
Nah bagaimana, masih wajarkah jika anak hobi menulis diary?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H