Pak Darwis sibuk menyalakan api unggun. Arel dan Rudi tampak duduk berimpitan di pasir putih. Edo memainkan gitarnya, menyanyikan lagu syahdu versi akustik. Gita dan Oka asik bercanda sambil menikmati secangkir cappucinno panas.
Aku memilih duduk menyendiri di tumpukan batu karang. Sedikit menjauh dari keriuhan mereka. Bagiku, menikmati kesendirian dengan hanya ditemani alam semesta adalah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Kesempatan ini takkan kusia-siakan.
Mataku berkeliling. Menjelajahi Pulau Berhala dalam pandangan. Setitik cahaya terkadang muncul di antara bukit lalu menghilang. Mungkin bintang jatuh.
Angin yang berhembus terasa semakin kencang. Dingin dan menusuk tulang. Aku sedikit menggigil.
Sreeekkk...sreeekkkk....
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam hutan Pulau Berhala yang ada di belakangku. Seperti suara langkah kaki yang diseret.
Aku menoleh. Sepi. Gelap. Dan hanya dedaunan yang bergerak-gerak tertiup angin. Mungkin binatang.
Sreeekkk....sreeekkkkk....sreeekkkkk....hhh...hhhh...
Suara itu kembali terdengar. Malah semakin jelas. Kali ini bukan hanya suara seperti kaki diseret tapi juga suara desah nafas yang berat.
Aku menoleh. Tetap tak terlihat apapun.
Namun bulu kudukku berdiri. Aku merinding. Tengkuk yang sudah kubalut dengan slayer tebal tiba-tiba terasa dingin.