Tahun 2020 menjadi tahun yang sangat mengejutkan banyak pihak, baik bersifat personal maupun publik. Bagaimana tidak? Hampir seluruh negara di bumi ini telah mengakui terjangkit virus covid-19 yang membahayakan dan sangat mengganggu kegiatan masyarakat. Virus tersebut memaksa kita semua untuk tetap menjaga jarak aman yang memungkinkan, saling melindungi satu sama lain dengan pemakaian masker, dan juga penggalakan kebersihan diri dalm rangka mengurangi resiko penularan virus covid-19 antara satu orang dengan orang lainnya.
Kehadiran pandemik tersebut yang mengharuskan adanya berbagai strategi adaptasi telah menghambat sektor-sektor kehidupan negara maupun masyarakat, baik dari segi kesehatan, ekonomi, pelaksanaan ritual keagamaan, aktivitas sosial, dan juga sektor pendidikan. Segala kegiatan dilakukan dengan melakukan beberapa strategi adaptasi yang disebut sebagai protokol kesehatan.
Dalam segala aktivitas di segala bidang, penerapan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan sudah menjadi bagian dari masyarakat di masa pandemik ini. Maka saat ini, masa dimana kegiatan yang dilakukan dengan segala strategi dan daptasi baru juga dikenal sebagai masa new normal. Bidang pendidikan pun tidak terlepas dari peraturan adaptasi baru yang ketat.
Pemerintah Indonesia mencanangkan wajib bersekolah selama dua belas tahun, yang dimaksudkan untuk mencerdaskan anak bangsa dan mampu memberantas kemiskinan, karena dinilai dapat mendorong para siswa dari kelas bawah untuk mampu melakukan mobilitas sosial ke atas, dalam rangka memperbaiki mutu kehidupannya dan keluarganya, baik dalam segi sosial, ekonomi dan budaya wawasan. Namun hal tersebut justru menciptakan ketimpangan sosial yang menghasilkan ketidaksetaraan di masyarakat.
Kebijakan tersebut justru menimbulkan kasta internasional, karena menjadikan pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang bisa dijadikan ajang perlombaan untuk mengetahui siapa yang paling baik dalam merancang dan membuat terobosan pendidikan yang ada.
Terlebih lagi berdasarkan pandangan Ivan Illich, sekolah dan para pemegang kekuasaan seolah mentransformasikan pemahaman bahwa pendidikan yang benar hanya bisa didapatkan melalui pendidikan di sekolah saja (1971:3).
Hal ini menimbulkan serta menciptakan beberapa kendala pada masyarakat kelas bawah yang memiliki pendapatan dan mutu hidup yang relatif rendah, karena pendidikan formal bagi kelas bawah dinilai sangat mahal, bahkan hampir tidak terjangkau untuk dilaksanakan dan diemban, karena adanya kendala pada biaya.
Meskipun pada sekolah negeri pendidikan dapat ditempuh secara gratis dengan segala fasilitas yang memadai, namun seleksi untuk masuk ke sekolah negeri juga cukup menyulitkan banyak murid dari kalangan kelas bawah, yang dimana mereka justru lebih berhak dan lebih membutuhkan untuk bersekolah di institusi pendidikan milik pemerintah secara gratis tanpa adanya beban biaya.
Adapun sekolah swasta memiliki biaya sekolah yang sangat mahal, sehingga seperti yang dikatakan oleh Marx dalam Anyon (2011:69) , bahwa kelas sosial keluarga menentukan jenis pendidikan yang mampu diterima oleh anaknya, dan tingkat pendidikan yang didapat oleh seorang anak juga dapat mempengaruhi posisi ekonominya dalam tingkat pekerjaan, yang akhirnya berdampak pada penerimaan jumlah upah kerja (gaji) yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda, yang didasari dengan latar belakang kesempatan dan status sosial yang berbeda. Hal ini pun menimbulkan perbedaan kelas ekonomi di masyakarat.
Pada masa pandemik seperti ini, pelaksanaan pendidikan khususnya di Indonesia mengalami dinamika dalam hal tata pelaksanaan program pembelajaran. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa pemerintah Indonesia membuat kebijakan terkait pelaksanaan program pembelajaran, yaitu perencanaan program pembelajaran jarak jauh yang lebih akrab dijuluki dengan sebutan PJJ.
Program PJJ dibuat dan diselenggarakan dengan maksud dan tujuan agar kegiatan pembelajaran tetap berlangsung secara rutin dan sesuai dengan kurikulum serta rencana pembelajaran yang telah dirancang. Dalam pelaksanaannya, program PJJ dilakukan dalam rangka mematuhi protokol kesehatan dan berbagai strategi adaptasi baru lainnya.
Program PJJ terpaksa ditempuh oleh seluruh warga belajar demi keberlangsungan pelaksanaan pendidikan meski dalam masa sulit seperti ini. Berbagai sarana-prasarana seperti gawai modern yang canggih (smartphone), laptop, serta jaringan internet yang memadai digunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan PJJ dari tiap-tiap rumah para peserta didik, tanpa adanya interaksi langsung secara fisik antara pendidik dan para peserta didik.
Hal inilah yang kemudian justru menjadi dilema bagi seluruh pihak. Pada satu sisi, pemerintah menjadikan PJJ sebagai jalan keluar dari permasalahan ruang pendidikan, namun di sisi lain PJJ dilihat sebagai beban belajar baru bagi masyarakat kelas bawah.
Terdapat ketimpangan sosial terkait modal antara para kalangan atas dengan keluarga masyarakat kelas bawah dalam hal penyediaan sarana-prasarana penunjang PJJ bagi para anak mereka. Bagi mereka yang merupakan masyarakat kelas bawah, untuk anaknya dapat menempuh pendidikan formal secara tatap muka saja sudah mengeluarkan banyak usaha dan biaya yang memberatkan, apalagi ditambah dengan sistem PJJ yang mengharuskan adanya berbgai fasilitas khusus seperti smartphone dan kuota internet yang terbilang cukup mahal, pasti semakin memerlukan biaya yang lebih besar lagi, sedangkan pendapatan keluarga dimasa seperti ini justru menjadi semakin tidak pasti.
Hal ini sejalan dengan pandangan Bourdieu tentang kapital yang menjadikan masyarakat terstratifikasi diukur dan dilihat dari kepemilikan modal. Menurut Bourdieu juga, modal ekonomi merupakan sumber dari segala modal (1986:252).
Hal tersebut sesuai dengan keadaan masa kini, bahwa dalam segala hal apapun termasuk pendidikan, sangat diperlukannya kepemilikan modal ekonomi demi menunjang proses pembelajaran agar berjalan dengan efektif.
Bersandar pada gagasan dan pemikiran Bourdieu tersebut, siswa yang berasal dari kelurga kelas bawah, yang tidak memiliki sumberdaya yang mendukung dan memadai untuk melaksanakan PJJ, menjadi teralienasi dari lingkup pendidikannya sendiri.
Pemerintah memang telah berkontribusi untuk mengatasi permasalahan sarana-prasarana yang timbul dalam pelaksanaan PJJ, contohnya dengan pemberian kuota internet gratis yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh pendidik maupun peserta didik untuk membuka berbagai laman dan aplikasi pembelajaran, sehingga dimaksudkan dapat mempermudah dan menunjang kegiatan pembelajaran yang efektif dan kompeten bagi pendidik dan peserta didik. Seperti yang dijabarkan dalam laman :
"KOMPAS.com - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menyalurkan bantuan kuota data internet untuk siswa, guru, mahasiswa, dan dosen.
Pencairan bulan November dan Desember dilakukan secara sekaligus dengan masa aktif 75 (tujuh puluh lima) hari terhitung sejak kuota data internet diterima oleh nomor ponsel pendidik dan peserta didik." (5/12/20)
Namun, pada pelaksanaannya di lapangan, ternyata pemberian kuota internet gratis tersebut masih belum tepat sasaran. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, seperti sulitnya alokasi dari pemerintah pusat ke pelosok desa secara detail, dan selain itu masih banyak peserta didik yang tidak memiliki smartphone secara pribadi, ada yang bergantian dengan orang tua dan keluarga lainnya, serta juga ada yang meminjam dari pihak lain seperti tetangga.
Hal tersebut tentunya sangat tidak efektif dalam menunjang kegiatan pembelajaran, karena kurangnya kebebasan peserta didik dalam mengoperasikan smartphone tersebut. Sehingga, dapat dilihat terdapat beban baru dalam kegiatan PJJ, karena tidak semua peserta didik memiliki akses untuk mendapatkan pengetahuan dengan sistem PJJ.
Seperti yang dilansir laman mediaindonesia.com (13/9/20):
Fahriza mengungkapkan, berdasarkan laporan dari daerah, terdapat sejumlah masalah yang ditemukan terkait program bantuan kuota internet. Pertama, operator selular telah menawarkan dan membagikan kartu perdana secara gratis di sekolah dan disertai dengan iming-iming tertentu yang bisa saja digolongkan sebagai gratifikasi. Kemudian, sebagian kartu perdana yang diberikan oleh operator juga didaftarkan ke Dapodik, padahal siswa belum tentu memiliki HP.
“Efektivitas dari pembagian kuota internet juga patut diragukan karena sampai per 11 September saja tidak sampai 50 persen nomor yang didaftarkan. Artinya, dana untuk bantuan kuota internet yang sangat besar yakni Rp7,2 triliun sebagian besar akan tidak digunakan,” tuturnya dalam konferensi pers (13/9).
Maka dari fenomena tersebut jika dilihat dan ditinjau dari kacamata Michael Apple, bahwa sekolah memang berusaha untuk mempertahankan kekuasaan pada kaum tertentu yang memiliki modal besar dan memiliki budaya dominan di masyarakat (2004:3).
Teori tersebut jika dikaitkan dalam pelaksanaan PJJ saat ini, bahwa hanya anak-anak dari kalangan atas saja yang dapat mengikuti kegiatan PJJ tanpa ditemuinya kendala fasilitas, baik dari teknologi maupun jaringan internet yang selalu tersedia. Kelengkapan fasilitas tersebut tentu mampu mendorong kelancaran kegiatan pembelajaran bagi para peserta didik kelas atas, dan mereka memiliki peluang untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih maksimal dibanding peserta didik dari kalangan kelas bawah.
Dilihat dari kegiatan pendidikan yang seperti itu, tentu akan menciptakan peluang dan kesempatan reproduksi kekuasaan di sekolah, dimana hak dan kebebasan sepenuhnya dalam kesempatan mendapat pengetahuan yang layak hanya dimiliki oleh kalangan kaum atas dengan berbagai budaya dan modal dominannya, seperti yang telah dituturkan oleh beberapa sosiolog seperti Marx, Bourdieu, Gintis, Young, Apple dan lainnya.
Hal ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan sesungguhnya secara murni, dimana menurut Freire dalam Mclaren (1993:82), bahwa "situs terpenting untuk mengubah perbudakan adalah melalui pendidikan".
Namun, pada pelaksanaannya yang terjadi adalah rakyat kelas bawah masih belum cukup memiliki akses yang mumpuni ke dalam dunia pendidikan yang layak, tetapi kelas atas yang sudah kaya justru memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih luas, sehingga terjadi lagi ketimpangan sosial di sekolah.
Perbedaan pengetahuan juga menjadi standar dari perekrutan tenaga kerja baru pada setiap instansi dan perusahaan, yang menyebabkan adanya tindakan memarginalkan masyarakat kelas bawah yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, bahkan sama sekali tidak berpendidikan secara formal, yang akhirnya berdampak pada jenis pekerjaan yang bisa diraih oleh masyarakat bawah.
Pandangan Ivan Illich dalam karyanya dengan judul "Deschooling Society", siswa merupakan produk pekerja yang dibutuhkan oleh para pemilik kekuasaan. Namun, untuk menjadi pekerja yang bisa menempati posisi mapan, siswa diseleksi dengan kriteria tertentu, dan siswa yang tidak mampu mencapai kriteria hanya dijadikan sebagai buruh (1971:54-56).
Pemikiran tersebut masih sangat memiliki relevansi yang tinggi pada masa ini. Adanya perekrutan tenaga kerja hanya didasarkan pada tingkat dan gelar dari pendidikannya saja, tapi justru mengenyampingkan dan tidak begitu memperhatikan kemampuan dan keterampilan seseorang secara khusus.
Adanya latar belakang dan status sosial keluarga juga berperan dalam jenis pekerjaan yang akan didapatkan seseorang. Seseorang yang dibesarkan di keluarga yang mapan akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan karena pengaruh keluarganya, sedangkan bagi sesorang yang terlahir dari keluarga kelas bawah, biasanya hanya meneruskan pekerjaan orang tua mereka sebagai buruh, karena adanya perbedaan peluang dalam persaingan di bidang pekerjaan antara si miskin dan si kaya.
Menurut Anyon (2011:75) dimana seseorang yang bahkan memiliki pengetahuan dan kemampunan yang baik, tetapi berasal dari keluarga kelas bawah, tetap sulit mendapatkan kesempatan kerja dengan upah yang tinggi, sehingga akan tetap hidup menjadi kelas bawah yang miskin.
Jenis pekerjaan yang memiliki hasil pendapatan kerja yang berbeda juga akhirnya mengklasifikasikan manusia berdasarkan standar ekonomi yang semakin melegitimasi ketimpangan sosial di masyarakat. Menciptakan adanya peringkat sosial di masyarakat yang didasarkan pada jumlah kekayaan seseorang atau suatu keluarga.
Hal ini membuktikan bahwa pendidikan pada pelaksanaannya masih belum mampu memberantas ketidaksetaraan, tapi justru menimbulkan dan melestarikan ketimpangan sosial, sehingga reproduksi ketimpangan sosial di sekolah yang menciptakan legitimasi kekuasaan melahirkan slogan "Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin".
Referensi :
Anyon, J., 2011. Marx and education. Taylor & Francis.
Apple, M. and Apple, M.W., 2018. Ideology and curriculum. Routledge.
Illich, Ivan, 1971 Deschooling Society. New York: Harper&Row.
Leonard, P. and McLaren, P. eds., 2002. Paulo Freire: A critical encounter. Routledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H