Program PJJ terpaksa ditempuh oleh seluruh warga belajar demi keberlangsungan pelaksanaan pendidikan meski dalam masa sulit seperti ini. Berbagai sarana-prasarana seperti gawai modern yang canggih (smartphone), laptop, serta jaringan internet yang memadai digunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan PJJ dari tiap-tiap rumah para peserta didik, tanpa adanya interaksi langsung secara fisik antara pendidik dan para peserta didik.Â
Hal inilah yang kemudian justru menjadi dilema bagi seluruh pihak. Pada satu sisi, pemerintah menjadikan PJJ sebagai jalan keluar dari permasalahan ruang pendidikan, namun di sisi lain PJJ dilihat sebagai beban belajar baru bagi masyarakat kelas bawah.Â
Terdapat ketimpangan sosial terkait modal antara para kalangan atas dengan keluarga masyarakat kelas bawah dalam hal penyediaan sarana-prasarana penunjang PJJ bagi para anak mereka. Bagi mereka yang merupakan masyarakat kelas bawah, untuk anaknya dapat menempuh pendidikan formal secara tatap muka saja sudah mengeluarkan banyak usaha dan biaya yang memberatkan, apalagi ditambah dengan sistem PJJ yang mengharuskan adanya berbgai fasilitas khusus seperti smartphone dan kuota internet yang terbilang cukup mahal, pasti semakin memerlukan biaya yang lebih besar lagi, sedangkan pendapatan keluarga dimasa seperti ini justru menjadi semakin tidak pasti.
Hal ini sejalan dengan pandangan Bourdieu tentang kapital yang menjadikan masyarakat terstratifikasi diukur dan dilihat dari kepemilikan modal. Menurut Bourdieu juga, modal ekonomi merupakan sumber dari segala modal (1986:252). Â
Hal tersebut sesuai dengan keadaan masa kini, bahwa dalam segala hal apapun termasuk pendidikan, sangat diperlukannya kepemilikan modal ekonomi demi menunjang proses pembelajaran agar berjalan dengan efektif.
Bersandar pada gagasan dan pemikiran Bourdieu tersebut, siswa yang berasal dari kelurga kelas bawah, yang tidak memiliki sumberdaya yang mendukung dan memadai untuk melaksanakan PJJ, menjadi teralienasi dari lingkup pendidikannya sendiri.Â
Pemerintah memang telah berkontribusi untuk mengatasi permasalahan sarana-prasarana yang timbul dalam pelaksanaan PJJ, contohnya dengan pemberian kuota internet gratis yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh pendidik maupun peserta didik untuk membuka berbagai laman dan aplikasi pembelajaran, sehingga dimaksudkan dapat mempermudah dan menunjang  kegiatan pembelajaran yang efektif dan kompeten bagi pendidik dan peserta didik.  Seperti yang dijabarkan dalam laman :
"KOMPAS.com -Â Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menyalurkan bantuan kuota data internet untuk siswa, guru, mahasiswa, dan dosen.
Pencairan bulan November dan Desember dilakukan secara sekaligus dengan masa aktif 75 (tujuh puluh lima) hari terhitung sejak kuota data internet diterima oleh nomor ponsel pendidik dan peserta didik." (5/12/20)
Namun, pada pelaksanaannya di lapangan, ternyata pemberian kuota internet gratis tersebut masih belum tepat sasaran. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, seperti sulitnya alokasi dari pemerintah pusat ke  pelosok desa secara detail, dan selain itu masih banyak peserta didik yang tidak memiliki  smartphone secara pribadi, ada yang bergantian dengan orang tua dan keluarga lainnya, serta juga ada yang meminjam dari pihak lain seperti tetangga.Â
Hal tersebut tentunya sangat tidak efektif dalam menunjang kegiatan pembelajaran, karena kurangnya kebebasan peserta didik dalam mengoperasikan smartphone tersebut. Sehingga, dapat dilihat terdapat beban baru dalam kegiatan PJJ, karena tidak semua peserta didik memiliki akses untuk mendapatkan pengetahuan dengan sistem PJJ.Â
Seperti yang dilansir laman mediaindonesia.com (13/9/20):