Fahriza mengungkapkan, berdasarkan laporan dari daerah, terdapat sejumlah masalah yang ditemukan terkait program bantuan kuota internet. Pertama, operator selular telah menawarkan dan membagikan kartu perdana secara gratis di sekolah dan disertai dengan iming-iming tertentu yang bisa saja digolongkan sebagai gratifikasi. Kemudian, sebagian kartu perdana yang diberikan oleh operator juga didaftarkan ke Dapodik, padahal siswa belum tentu memiliki HP.
“Efektivitas dari pembagian kuota internet juga patut diragukan karena sampai per 11 September saja tidak sampai 50 persen nomor yang didaftarkan. Artinya, dana untuk bantuan kuota internet yang sangat besar yakni Rp7,2 triliun sebagian besar akan tidak digunakan,” tuturnya dalam konferensi pers (13/9).
Maka dari fenomena tersebut jika dilihat dan ditinjau dari kacamata Michael Apple, bahwa sekolah memang berusaha untuk mempertahankan kekuasaan pada kaum tertentu yang memiliki modal besar dan memiliki budaya dominan di masyarakat (2004:3).
Teori tersebut jika dikaitkan dalam pelaksanaan PJJ saat ini, bahwa hanya anak-anak dari kalangan atas saja yang dapat mengikuti kegiatan PJJ tanpa ditemuinya kendala fasilitas, baik dari teknologi maupun jaringan internet yang selalu tersedia. Kelengkapan fasilitas tersebut tentu mampu mendorong kelancaran kegiatan pembelajaran bagi para peserta didik kelas atas, dan mereka memiliki peluang untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih maksimal dibanding peserta didik dari kalangan kelas bawah.
Dilihat dari kegiatan pendidikan yang seperti itu, tentu akan menciptakan peluang dan kesempatan reproduksi kekuasaan di sekolah, dimana hak dan kebebasan sepenuhnya dalam kesempatan mendapat pengetahuan yang layak hanya dimiliki oleh kalangan kaum atas dengan berbagai budaya dan modal dominannya, seperti yang telah dituturkan oleh beberapa sosiolog seperti Marx, Bourdieu, Gintis, Young, Apple dan lainnya.
Hal ini bertolak belakang dengan tujuan pendidikan sesungguhnya secara murni, dimana menurut Freire dalam Mclaren (1993:82), bahwa "situs terpenting untuk mengubah perbudakan adalah melalui pendidikan".
Namun, pada pelaksanaannya yang terjadi adalah rakyat kelas bawah masih belum cukup memiliki akses yang mumpuni ke dalam dunia pendidikan yang layak, tetapi kelas atas yang sudah kaya justru memiliki kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih luas, sehingga terjadi lagi ketimpangan sosial di sekolah.
Perbedaan pengetahuan juga menjadi standar dari perekrutan tenaga kerja baru pada setiap instansi dan perusahaan, yang menyebabkan adanya tindakan memarginalkan masyarakat kelas bawah yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, bahkan sama sekali tidak berpendidikan secara formal, yang akhirnya berdampak pada jenis pekerjaan yang bisa diraih oleh masyarakat bawah.
Pandangan Ivan Illich dalam karyanya dengan judul "Deschooling Society", siswa merupakan produk pekerja yang dibutuhkan oleh para pemilik kekuasaan. Namun, untuk menjadi pekerja yang bisa menempati posisi mapan, siswa diseleksi dengan kriteria tertentu, dan siswa yang tidak mampu mencapai kriteria hanya dijadikan sebagai buruh (1971:54-56).
Pemikiran tersebut masih sangat memiliki relevansi yang tinggi pada masa ini. Adanya perekrutan tenaga kerja hanya didasarkan pada tingkat dan gelar dari pendidikannya saja, tapi justru mengenyampingkan dan tidak begitu memperhatikan kemampuan dan keterampilan seseorang secara khusus.
Adanya latar belakang dan status sosial keluarga juga berperan dalam jenis pekerjaan yang akan didapatkan seseorang. Seseorang yang dibesarkan di keluarga yang mapan akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan karena pengaruh keluarganya, sedangkan bagi sesorang yang terlahir dari keluarga kelas bawah, biasanya hanya meneruskan pekerjaan orang tua mereka sebagai buruh, karena adanya perbedaan peluang dalam persaingan di bidang pekerjaan antara si miskin dan si kaya.