Mohon tunggu...
Fian Roger
Fian Roger Mohon Tunggu... -

Wartawan dan Pencinta Sastra. Tinggal di Ruteng, Flores.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kasula dari Maria

28 Februari 2016   19:34 Diperbarui: 28 Februari 2016   22:08 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: pixabay.com"][/caption]Minggu puasa ketiga berasa hambar. Seperti biasa kami masih ke gereja  supaya dianggap tetangga masih beriman. Aku melihat kekasihku menatapku bingung sebulan terakhir. Atau malah sebaliknya. Akulah yang bingung karena dia masih bernalar wajar.kebingunganku membuatku tak romantis lagi.kalau biasanya selalu kuusap wajahnya di pagi buta. Sebulan terakhir, saat bangun rasanya aku merasa ia tak ada lagi. Tak lagi berkekasih. Atau nalar kekasihku tak sehat lagi. Soalnya setahun hidup bersama baru sebulan aku merasa itu masalah. Kapan kita berdua pulang kekasihku. 

* * *

Kekasihku Perempuan bermata sipit paling cantik dari Sambas, Borneo. Dia putih. Matanya bening. Rambutnya lurus, parasnya seperti Orang Cina.

"Mengapa kamu jatuh cinta denganku," dia bertanya suatu ketika.

"Soalnya kamu mirip Orang Cina," jawaban polos yang jatuh pada kemuakan gombal.

Hiks hiks hiks. Begitu kalau ia tertawa kecil. Tertawa kecil-kecil. Itulah yang membuat ia manis. Mungkin dulu kekasihku terbuat dari kayu manis dan gula aren. Bibir tipisnya yang manis saat melepas senyum.

"Kalau aku kayak Cina, berarti kamu mau menikah karena mau dapat anak ganteng dong," dia mengolok sambil tertawa.

Bukan. Bukan karena itu. Karena kamu seperti Perempuan Dayak yang ada di Ensiklopedi Indonesia. Pernah kulihat gambar itu saat mendapat tugas sekolah semasa SMP. Dan salah satu gambar dalam buku tebal itu mirip kamu.Penari Sambas yang menari memakai rompi, bermahkota ikatan kepala lancip, dan memegang dedaunan hutan di tangan. 

"Haks. Hehehehehe. Hayalan kamu belasan tahun hanya terwujud dengan mendapat perempuan kayak aku?" oloknya lagi.

Begitulah kami menghabiskan senja kala, saat angin Yogyakarta makin hangat dan kopi membasahi tenggorokan. Berdua di depan kos di kawasan Catur-Sleman adalah saat yang tepat untuk baku mengolok.Dia selalu bilang Orang Flores itu hitam dan kriting tapi nekat suka dengan perempuan cantik asal Jawa dan Kalimantan. Hehehehe. Olokan yang pedis tapi manis.

Milin. Itu nama kekasihku. Dia yang menafkahi aku saat luntang lantung di Kota Gudeg. Seperti buronan tak berumah. Numpang makan dan minum. Numpang  kenyamanan dan kasih sayang. Numpang segalanya termasuk menumpahkan cinta dan memuntahkan hasrat.

* * *

Semua orang tahu rasanya bingung. Bingung harus berbuat apa dalam hidup. Bingung harus mencari apa. Bingung harus menentukan langkah-langkah krusial dalam masa muda.

Bertahan saja di Yogyakarta. Itu kata temanku. Nasihatnya kulaksanakan dengan penuh saksama. Bertahan dan mencintai Perempuan Sambas. Gadis yang memeluk aku sepanjang malam dingin. Dia yang membuat puisi tak berarti lagi selain tatapan. Ada yang bilang. Kabur saja ke Borneo dan bawa kekasihmu. Jadilah guru di daerah terpencil. Mengucilah dan cari sekolah yang bisa menampung meski bergaji rendah. Cukupkan hidup berdua meski makan seadanya.

Sebab, kalau terus nangkring di Kota ini. Lama-lama jiwamu akan berubah menjadi Yogya. Sebab kota ini terbuat dari rindu dan pulang. Kemanapun kamu kabur pasti akan kembali. Bagaimana bisa kabur saat cinta liarku berakar di sudut kota yang romantis ini? Planet mana yang akan memaafkan aku ketika melepaskan kota ini dalam rasa bersalah.

Apalagi Milin sudah mengajar di sebuah Sekolah Katolik dan karirnya makin mantap. Hanya aku yang selalu membatang kara tanpa kerja. Kerjaanku hanyalah menatap kekasihku yang berkulit bersih itu. Tapi apa selama hayat aku hanya akan menjadi penatap dan bukan penentu arah?

* * *

"Mengapa kamu suka sama manusia Flores yang parasit?" Tanyaku menguji. Bukan. Kamu bukan parasit. Kamu itu kekasihku yang membuat aku berhenti memikirkan cinta lain lagi. Itu jawabannya."Apa rela menderita hidup seadanya?" Lanjutku.

Berhenti bertanya. Jangan cinta itu kamu filsafatkan. Cinta itu tatapan dan sentuhan. Selebihnya kita cari makan, bayar kontrakan, dan pergi jalan-jalan sambil bersepeda. "Kamu bingung terus sekarang. Apa yang kamu pikirkan. Apa mau buru-buru ke Flores? " Ia bertanya.

Bukan. Bukan. Saya tak mau kembali ke Flores. Aku malah mau ikut kamu ke mana saja.Eh kamu kan laki-laki masa harus ikut perempuan. Seharusnya aku yang ikut kamu kemana saja. Termasuk tidur pada rumah pohon yang pernah kita ceritakan.

Hiks hiks hiks. Kami pun tertawa lagi. Selesai lagi kebingungan itu.

* * *

22 Februari 2009. Kakakku dari Semarang memberi kabar. Kiriman ibu sudah sampai. Dia bertanya. Kapan kira-kira keluarga besar mendengar kabar gembira. Kabar aku pulang bersama Para Pimpinan Tertinggi. Saat aku dijemput memakai ayam putih di gerbang kampung.

"Mama sudah menjahitkan kasula buat kamu," itu bunyi pesan itu.Seperti hantaman palu di otak kecil. Sampai-sampai neuron berkunang-kunang terhentak tak manjawab.Sudah delapan bulan tak kuberi kabar apapun kepada kerabat. Yang kukabarkan pada halaman Facebook-ku adalah tubuhku yang mengurus karena rambut keritingku semakim membulat besar. 

"Kok frater ikut gaya anak rasta. Kayak guide di Labuan Bajo saja. Wkwkwkwkwk," sebuah akun mengolok aku. Gayaku memang sudah seperti itu. Mungkin penemuan diri baru dan tak lazim. Biarkan rambut itu tumbuh liar dan membulat. Toh Milin masih menyukainya. Masih mengelusnya dan mencium baunya saban pagi.

Hiks hiks hiks. Idih bau shampo dan rokok batangan tidak bisa dibedakan ya? Kata Milin. Hehehehe. Itu bau lelaki kekasihku. Kalau terlalu wangi nanti aku dikira penjual parfum.

* * *

Kiriman itu hampir membatu. Sebuah kofer berisi beberapa kain dan selempang bermotif Songke. Di dalamnya ada beberapa barang berbahan logam ringan berwarna emas.Katanya kiriman itu hasil urunan keluarga besar. Isinya barang-barang sakral yang akan disucikan Bapak Uskup. Sebulan sudah kiriman itu membatu. Membeku bersama perasanku. Kebingunganku pun menjadi seperti kofer perjalanan, masih digembok dan berdebu.

Beberapa kali Perempuan Sambasku menegur aku keras. Sebab kebingunganku membuat murung dan membuat Kota Yogyakarta jadi sangar. "Jadi, kapan kamu dapat surat pelepasan kaul? Tanya Milin.

Tidak tahu kekasihku. Sudah setahun aku tak menginjak Biara. Aku pergi begitu saja kala itu. Seperti orang yang bingung dan tanpa arah. Meski cintamu kekasihku sudah terarah karena perutmu sudah terisi hasrat kita.Tapi, aku tak rela menjawab perempuan renta di ujung telefon yang selalu menanyakan kabar dan perkembanganku.

"Jujur saja ya," pintanya. Iya. Jujur itu mudah kekasihku. Tapi kalimat jujur itu kita mulai dengan kata apa. Memangnya jujur itu terbuat dari apa? Apa jujur tidak mengandung rasa takut dan malu?

Ibuku. Perempuan tua di ujung telefon dan rindu. Dia seorang penjahit tua yang sudah tidak lama lagi bersukacita dengan nasib. Dia selalu berharap aku kembali. Kembali dan mengenakan kain sakral jahitannya. Kain yang ia sulam sendiri dengan jemari keriput.

Terus apa kita akan menatap terus kofer itu dan membiarkannya menatap kita yang lagi bercinta? Dan jawabannya selalu kita cari di pagi-pagi berikutnya.Kami putuskan membuka kofer kiriman itu pada Jumat pagi buta saat Yogyakarta masih membiarkan para kekasih saling mengusap.Di dalamnya ada Kasula yang indah bermotif Songke hitam rajutan tangan dan berbenang asli.

Baunya masih aroma kain toko. Pasti mahal harganya. Kainnya pun lembut warnanya. Auranya bersemangat. Seperti darah imam muda yang siap dikirim ke pedalaman Benua Amerika. Gairahnya nyata seperti kenekatan para martir[iv] yang ingin dijagal suku kafir karena mewartakan Injil.

* * *

Tak biasa kampungku lengang. Tidak ada orang yang bekerja di sawah. Ojekpun tidak tampak. Semua orang entah dimana hari itu. Padahal kami pulang. Seharusnya kami disambut di perbatasan dengan dua motor ojek yang siap mengantar hingga pintu rumah. Tapi entahlah. Mungkin mereka lupa.Di depan rumah tenda bambu diselimuti terpal-terpal lusuh. Banyak wajah berkabung beku. Tak kulihat ada senyum di wajah-wajah itu. Mereka sedang merendam duka, mengenang ibu tua yang rajin menjahit di kampungku.

Namanya Mama Maria. Dia rela dibayar murah menjahit pakaian orang yang berlubang dan terlepas kancing-kancingnya.Ia juga menjahit pakaian-pakaian Pastor dan Uskup walau harganya tidak semahal penjahit di Kota. Makanya namanya terkenal di sejagat tanah kelahiran. Mama Maria si  penjahit yang tekun dan baik itu tinggal jasad saja. Dia dulu mendapat didikan Misi hingga pintar menjahit.

Kepada siapa ditumpahkan perasaan ini?Rasanya air mata tak berguna. Penyesalan pun tak punya makna. Hanya tubuh Milin yang kupeluk erat. Dan anakku hanya menatap kami menangis di tengah kerumunan perkabungan.Para saudara mencoba menenangkan kepedihan dengan usapan. Namun itu tak menyembuhkan. Biarkan tangisan ini jatuh di tanah. Dan anaku pun yang masih sembilan bulan menatap saja dari gendongan Kakakku.

"Bapak menangis, " mungkin itu kalimat dalam hatinya.

* * *

Senja yang memerah di Barat. Milin menggenggam beberapa batang lilin menuju kuburan Mama Maria, penjahit terkenal di kampungku. Penjahit yang adalah mamaku. Kami berdoa dan memohon maaf. Maaf kami hanya bisa jujur pada batu nisan yang bisu.Di sebelah tampak beberapa orang juga datang membakar lilin. Mereka menatap kami bertiga diam. 

"Istrinya dulu istrinya biarawati juga, " kata seorang perempuan kepada pria di sebelahnya.

Sssttttt. Jangan cari tahu urusan orang. (***)

 

*) Di Lingko Ros, Ruteng Pu'u, Saat mendengar Chopin dan Tchaikovsky (28/2).

Kasula: Pakaian Imam Katolik saat memimpin Upacara Misa/Kebaktian
Parasit: Mengingatkan akan kumpulan Esai Parasit Lajang dari Ayu Utami
Guide: Pemandu Wisata
Martir: mati sahid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun