[caption caption="Sumber: pixabay.com"][/caption]Minggu puasa ketiga berasa hambar. Seperti biasa kami masih ke gereja supaya dianggap tetangga masih beriman. Aku melihat kekasihku menatapku bingung sebulan terakhir. Atau malah sebaliknya. Akulah yang bingung karena dia masih bernalar wajar.kebingunganku membuatku tak romantis lagi.kalau biasanya selalu kuusap wajahnya di pagi buta. Sebulan terakhir, saat bangun rasanya aku merasa ia tak ada lagi. Tak lagi berkekasih. Atau nalar kekasihku tak sehat lagi. Soalnya setahun hidup bersama baru sebulan aku merasa itu masalah. Kapan kita berdua pulang kekasihku.Â
* * *
Kekasihku Perempuan bermata sipit paling cantik dari Sambas, Borneo. Dia putih. Matanya bening. Rambutnya lurus, parasnya seperti Orang Cina.
"Mengapa kamu jatuh cinta denganku," dia bertanya suatu ketika.
"Soalnya kamu mirip Orang Cina," jawaban polos yang jatuh pada kemuakan gombal.
Hiks hiks hiks. Begitu kalau ia tertawa kecil. Tertawa kecil-kecil. Itulah yang membuat ia manis. Mungkin dulu kekasihku terbuat dari kayu manis dan gula aren. Bibir tipisnya yang manis saat melepas senyum.
"Kalau aku kayak Cina, berarti kamu mau menikah karena mau dapat anak ganteng dong," dia mengolok sambil tertawa.
Bukan. Bukan karena itu. Karena kamu seperti Perempuan Dayak yang ada di Ensiklopedi Indonesia. Pernah kulihat gambar itu saat mendapat tugas sekolah semasa SMP. Dan salah satu gambar dalam buku tebal itu mirip kamu.Penari Sambas yang menari memakai rompi, bermahkota ikatan kepala lancip, dan memegang dedaunan hutan di tangan.Â
"Haks. Hehehehehe. Hayalan kamu belasan tahun hanya terwujud dengan mendapat perempuan kayak aku?" oloknya lagi.
Begitulah kami menghabiskan senja kala, saat angin Yogyakarta makin hangat dan kopi membasahi tenggorokan. Berdua di depan kos di kawasan Catur-Sleman adalah saat yang tepat untuk baku mengolok.Dia selalu bilang Orang Flores itu hitam dan kriting tapi nekat suka dengan perempuan cantik asal Jawa dan Kalimantan. Hehehehe. Olokan yang pedis tapi manis.
Milin. Itu nama kekasihku. Dia yang menafkahi aku saat luntang lantung di Kota Gudeg. Seperti buronan tak berumah. Numpang makan dan minum. Numpang kenyamanan dan kasih sayang. Numpang segalanya termasuk menumpahkan cinta dan memuntahkan hasrat.