Baunya masih aroma kain toko. Pasti mahal harganya. Kainnya pun lembut warnanya. Auranya bersemangat. Seperti darah imam muda yang siap dikirim ke pedalaman Benua Amerika. Gairahnya nyata seperti kenekatan para martir[iv] yang ingin dijagal suku kafir karena mewartakan Injil.
* * *
Tak biasa kampungku lengang. Tidak ada orang yang bekerja di sawah. Ojekpun tidak tampak. Semua orang entah dimana hari itu. Padahal kami pulang. Seharusnya kami disambut di perbatasan dengan dua motor ojek yang siap mengantar hingga pintu rumah. Tapi entahlah. Mungkin mereka lupa.Di depan rumah tenda bambu diselimuti terpal-terpal lusuh. Banyak wajah berkabung beku. Tak kulihat ada senyum di wajah-wajah itu. Mereka sedang merendam duka, mengenang ibu tua yang rajin menjahit di kampungku.
Namanya Mama Maria. Dia rela dibayar murah menjahit pakaian orang yang berlubang dan terlepas kancing-kancingnya.Ia juga menjahit pakaian-pakaian Pastor dan Uskup walau harganya tidak semahal penjahit di Kota. Makanya namanya terkenal di sejagat tanah kelahiran. Mama Maria si penjahit yang tekun dan baik itu tinggal jasad saja. Dia dulu mendapat didikan Misi hingga pintar menjahit.
Kepada siapa ditumpahkan perasaan ini?Rasanya air mata tak berguna. Penyesalan pun tak punya makna. Hanya tubuh Milin yang kupeluk erat. Dan anakku hanya menatap kami menangis di tengah kerumunan perkabungan.Para saudara mencoba menenangkan kepedihan dengan usapan. Namun itu tak menyembuhkan. Biarkan tangisan ini jatuh di tanah. Dan anaku pun yang masih sembilan bulan menatap saja dari gendongan Kakakku.
"Bapak menangis, " mungkin itu kalimat dalam hatinya.
* * *
Senja yang memerah di Barat. Milin menggenggam beberapa batang lilin menuju kuburan Mama Maria, penjahit terkenal di kampungku. Penjahit yang adalah mamaku. Kami berdoa dan memohon maaf. Maaf kami hanya bisa jujur pada batu nisan yang bisu.Di sebelah tampak beberapa orang juga datang membakar lilin. Mereka menatap kami bertiga diam.Â
"Istrinya dulu istrinya biarawati juga, " kata seorang perempuan kepada pria di sebelahnya.
Sssttttt. Jangan cari tahu urusan orang. (***)
Â