Holding Perusahaan Perumahan, dengan Leader PT Perumnas yang menaungi PT.PP, PT Wijaya Karya, PT. Indah Karya, PT Amarta Karya, dan PT. Bina Karya.
Holding Perusahaan Perkebunan dengan Leader PT.PTPN III yang menaungi PT.PTPN I sampai dengan PT.PTPN VII
Dalam beberapa waktu ke depan akan ada pembentukan holding lagi yang saat ini sedang digodog yakni Holding Farmasi, Holding Perbankan Jasa Keuangan, Holding Asuransi, Holding infrastruktur, dan beberapa Holding lainnya yang masih dalam tahap konsolidasi.
Dengan pembentukan Super Holding ini diharapkan kedepan BUMN tak lagi menjadi bagian dari pemerintah.
Meskipun masih tetap akan menyandang nama perusahaan negara dengan segala kewajibannya, namun pengelolaannya menjadi benar-benar profesional lepas dari intervensi politik penguasa.
Kultur birokrasi seperti dalam pemerintahan harus dilepaskan berganti menjadi kultur korporasi, tak mudah memang mengganti sebuah kebiasaan yang telah menjadi budaya.
Itulah salah satu tugas berat Erick Thohir sebagai Menteri BUMN, jika mau membawa BUMN Indonesia moncer tak hanya jago kandang namun bisa jadi perusahaan global yang disegani.
Kemudian pengelolaan BUMN itu harus bersifat independen, tak ada lagi unsur-unsur kepentingan politik praktis di dalamnya. Kecuali barangkali untuk politik sosial, artinya BUMN juga memiliki tanggungjawab sosial untuk membina dan menumbuhkan UMKM,misalnya.
Walaupun sebenarnya aturan tentang keberadaan BUMN itu sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, namun sifat kekhususannya tersebut tak terlihat dalam prakteknya.
Intervensi untuk kepentingan politik masih terlihat kasat mata, misalnya dibeberapa BUMN terlihat penempatan Komisaris jadi seperti area untuk balas jasa bagi pihak-pihak yang berkeringat dalam menempatkan penguasa saat ini menjadi berkuasa.
Atau lebih dalam lagi dalam pengerjaan proyek tertentu sebagaimana mana kita lihat i PLN dalam kasus yang melibatkan Eni Saragih, Idrus Marham, Johanes Kotjo dan Sofyan Basyir.