rokok. Berbagai aturan dikeluarkan untuk menyusutkan produksi rokok sekaligus mengurangi prevalensi jumlah perokok.
Pemerintah terlihat sangat agresif memusuhi industri tembakau sepertiMulai dari kenaikan cukai rokok yang secara konstan terus menerus diberlakukan, pembatasan ruang untuk merokok hingga pelarangan iklan rokok diberbagai kanal media termasuk yang berbasis internet.
Tak cukup sampai disitu, dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 tentang Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, terdapat banyak sekali pembatasan untuk industri rokok, diantaranya,
Penjualan rokok tak boleh dilakukan secara eceran atau kalau dalam istilah perokok biasa disebut batangan dan jarak outlet penjualnya tak boleh kurang dari 200 meter dari institusi sekolah atau tempat bermain anak.
Kemudian, produsen atau importir rokok putih tak boleh mengemas rokok kurang dari 20 batang dalam setiap pak-nya.
Dilarang keras menggunakan kata-kata yang mengindikasikan citra positif produk rokok, seperti kata Mild, Light, Slim atau Premium, karena citra positif dianggap tak layak disandangkan pada produk tembakau, saking jahatnya itu barang.
Usulan Adsurd dalam Pengendalian Prevalensi Perokok
Sempat ada beberapa usulan yang cukup absurd, karena dalam praktiknya bakal memicu masalah lain yang cukup komplek.Â
Supaya rokok tidak menarik, diusulkan agar seluruh kemasan rokok harus berwarna putih polos, tanpa logo dan merk yang dicantumkan, hanya mencantumkan kalimat tentang bahaya merokok.
Usulan absurd dalam rangka pembatasan rokok terbaru datang dari pihak Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui Direktur Utama-nya Prof Dr Ali Ghufron Mukti berkaitan dengan usulan penyakit yang tidak ditanggung pemerintah melalui BPJS Kesehatan.
Mengutip RRI.co.id, Prof Ali mengusulkan penyakit akibat rokok tak lagi menjadi penyakit yang biayanya bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Hal tersebut didasari oleh temuannya, bahwa perokok lebih memilih membeli rokok dibandingkan membayar iuran BPJS Kesehatan.
Padahal di sisi lain penyakit akibat rokok menelan biaya yang cukup besar dan menggerus sangat dalam keuangan BPJS Kesehatan.
Penyakit jantung misalnya, menghabislan duit BPJS kesehatan sebesar Rp10 triliun.
Usulan BPJS Kesehatan akan dilakukan seiring penyesuain tarif dan iuran yang rencanakan berdasarkan Pertauran Presiden nomor 59 tahun 2024.
Pertanyaannya, apakah seluruh penyakit jantung dan berbagai penyakit lain yang disebutkan akibat rokok di Indonesia penyebab satu-satunya sudah dipastikan karena merokok?
Menurut situs Kementerian Kesehatan, pemicu utama penyakit jantung yang pertama adalah faktor usia, kemudian berturut-turut, hipertensi, diabetes, faktor genetik atau turunan, obesitas, dan pola hidup buruk.
Dan rokok masuk ke dalam faktor pola hidup buruk. Jadi tak sepenuhnya bisa menyalahkan rokok sebagai penyebab membludaknya manusia Indonesia berpenyakit jantung.
Menurut catatan BPJS Kesehatan seperti yang dilansir Kompas.com, merokok bisa menyebabkan penyakit katastropik yang membutuhkan biaya pengobatan yang sangat mahal, lantaran membutuhkan waktu pengobatan yang sangat panjang.
Penyakit katastropik adalah penyakit yang tidak menular dan bersifat laten sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk termanifestasi sebagai sebuah penyakit yang mengganggu kesehatan seseorang.
Namun,kehadiran penyakit ini sering tidak disadari,tapi sekali seseorang terkena penyakit katastropik tersebut, maka untuk menyembuhkannya membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang sangat besar.
Delapan penyakit katastropik akibat merokok tersebut adalah, jantung, kanker, stroke, gagal ginjal, thalassemia, chirrosis hepatitis, leukimia dan hemophilia.
Tak ada kah faktor, selain rokok yang menyebabkan ke delapan penyakit kastropik tersebut? Tentu saja, ada.
Gaya hidup tidak sehat, termasuk merokok memang menjadi salah satu penyebabnya, tapi kan gaya hidup tak sehat tak berhenti di merokok saja.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mengungkap fakta bahwa hampir seluruh masyarakat Indonesia (95,5%) tidak mengonsumsi buah dan sayur dalam jumlah yang cukup.Â
Kondisi ini diperparah dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik (33,5%), tingginya prevalensi perokok harian di usia produktif (29,3%), serta tingginya angka obesitas, baik sentral (31%) maupun umum (21,8%).Â
Jadi usulan Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti agar penyakit akibat merokok tak lagi akan di jamin BPJS Kesehatan, dari sudut pandang medis saja sudah tak masuk akal.Â
Karena belum tentu penyakit katastropik yang diklaim disebabkan oleh konsumsi rokok tersebut, penyebabnya karena merokok. Terus bagaimana cara dokter memastikan penyakit katastropik ini berasal dari rokok, kecuali si pasien mengakui bahwa dirinya perokok.
Intinya, jika usulan itu dilanjutkan dan akhirnya menjadi sebuah kebijakan, akan menjadi komplek dalam pelaksanaanya di lapangan.Â
Tak perlu lah BPJS Kesehatan mencari-cari alasan untuk tak membiayai kesehatan masyarakat hanya karena defisit yang sedang dialaminya.
Seandainya memang defisit BPJS terjadi, untuk menambalnya kan bisa mengusulkan untuk mendapatkan bagian khusus dari penerimaan cukai rokok, misalnya 10 persen atau berapalah itu, seperti di Thailand yang menggunakan pajak rokok untuk mengendalikan penyakit akibat rokok dan layanan kesehatan.
Betul, menurut data BPJS bahwa delapan penyakit katastropik itu menggerus sangat dalam keuangan mereka, karena klaim biaya kesehatan program JKN akibat penyakit tersebut menempati urutan teratas dengan tagihan mencapai Rp33,39 triliun per November 2024.
Tapi, ya jangan membuat usulan kebijakan yang konyol seperti itu. Kalau lah memang rokok dianggap oleh Pemerintah seberbahaya itu sehingga dijadikan alasan untuk tak membiayai penyakit yang disebabkan olehnya, kenapa tidak Pemerintah tutup saja seluruh ekosistem pengolahan tembakau. Jadikan rokok terlarang seperti narkoba!
Industri Tembakau Sumber Pendapatan Negara
Jangan cukai dari industrinya diburu bak harta karun, tetapi ogah menanggung akibat dari industri yang secara legal  diizinkan oleh negara.
Asal tahu saja, menurut data Kementerian Keuangan, rokok dan turunan pengelolaan tembakau masih menjadi andalan penyumbang penerimaan cukai terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.
Per Oktober 2024 realisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp167 triliun,tumbuh 2,3 persen dibanding periode yang sama tahun 2023 lalu.
Pada tahun lalu, Pemerintah memperoleh penerimaan dari CHT sebesar Rp213,48 triliun, dibandingkan cukai produk lain seperti alkohol misalnya, jauh panggang dari api, perolehan cukainya hanya Rp8,10 triliun saja.
Jangan lupa,ini penting untuk diingat, rantai produksi industri tembakau jadi gantungan hidup banyak orang. Menurut catatan Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2024, tak kurang dari 6,1 juta jiwa berpenghasilan di setiap rantai produksi tembakau.
Berani enggak Pemerintah menutup industri tembakau dengan magnitude ekonomi seperti ini?
Kalau tak berani ya perlakukanlah industri rokok dan para konsumennya dengan proporsional, dikendalikan harus tapi kalau masih legal mbo yah jangan diperlakukan semena-mena.
Penutup
Usulan agar penyakit akibat rokok tidak ditanggung BPJS Kesehatan merupakan langkah yang tidak adil dan berpotensi merugikan banyak pihak.Â
Argumen bahwa perokok lebih memilih membeli rokok daripada membayar iuran BPJS Kesehatan tidaklah cukup kuat untuk menjadi dasar kebijakan yang diskriminatif.Â
Asal tahu saja, dari berbagai literatur yanv saya baca, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk merokok, termasuk lingkungan sosial, ketergantungan, dan keterbatasan akses terhadap informasi kesehatan.Â
Mengucilkan kelompok tertentu hanya akan memperburuk masalah dan memperlebar kesenjangan sosial
Selain itu, mengkambinghitamkan rokok seolah menjadi satu-satunya penyebab penyakit katastropik adalah oversimplifikasi, dengan mengabaikan fakta bahwa penyakit katastropik adalah kondisi kompleks dengan banyak faktor penyebab.Â
Rokok memang merupakan salah satu faktor risiko, namun tidak berdiri sendiri. Faktor genetik, pola makan tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, dan kondisi lingkungan juga berperan signifikan.Â
Membatasi cakupan BPJS Kesehatan hanya pada penyakit yang tidak terkait rokok adalah langkah yang terlalu sempit dan tidak adil bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H