Per Oktober 2024 realisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) sebesar Rp167 triliun,tumbuh 2,3 persen dibanding periode yang sama tahun 2023 lalu.
Pada tahun lalu, Pemerintah memperoleh penerimaan dari CHT sebesar Rp213,48 triliun, dibandingkan cukai produk lain seperti alkohol misalnya, jauh panggang dari api, perolehan cukainya hanya Rp8,10 triliun saja.
Jangan lupa,ini penting untuk diingat, rantai produksi industri tembakau jadi gantungan hidup banyak orang. Menurut catatan Kementerian Perindustrian, hingga tahun 2024, tak kurang dari 6,1 juta jiwa berpenghasilan di setiap rantai produksi tembakau.
Berani enggak Pemerintah menutup industri tembakau dengan magnitude ekonomi seperti ini?
Kalau tak berani ya perlakukanlah industri rokok dan para konsumennya dengan proporsional, dikendalikan harus tapi kalau masih legal mbo yah jangan diperlakukan semena-mena.
Penutup
Usulan agar penyakit akibat rokok tidak ditanggung BPJS Kesehatan merupakan langkah yang tidak adil dan berpotensi merugikan banyak pihak.Â
Argumen bahwa perokok lebih memilih membeli rokok daripada membayar iuran BPJS Kesehatan tidaklah cukup kuat untuk menjadi dasar kebijakan yang diskriminatif.Â
Asal tahu saja, dari berbagai literatur yanv saya baca, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk merokok, termasuk lingkungan sosial, ketergantungan, dan keterbatasan akses terhadap informasi kesehatan.Â
Mengucilkan kelompok tertentu hanya akan memperburuk masalah dan memperlebar kesenjangan sosial
Selain itu, mengkambinghitamkan rokok seolah menjadi satu-satunya penyebab penyakit katastropik adalah oversimplifikasi, dengan mengabaikan fakta bahwa penyakit katastropik adalah kondisi kompleks dengan banyak faktor penyebab.Â
Rokok memang merupakan salah satu faktor risiko, namun tidak berdiri sendiri. Faktor genetik, pola makan tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, dan kondisi lingkungan juga berperan signifikan.Â