Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenaikan PPN, Ditelan Ibu Mati, Diluah Mati Bapak

23 Desember 2024   10:24 Diperbarui: 23 Desember 2024   20:33 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Kamis 19 Desember 2024 lalu, unjuk rasa menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen yang sudah resmi diumumkan Pemerintah dan mulai berlaku pada 1 Januari 2025, berlangsung di depan Istana Negara Jakarta

Ajakan untuk melakukan unjuk rasa disebarkan lewat berbagai platform media sosial telah dilakukan beberapa hari sebelumnya, dengan hashtag #pajakmencekik dan meme berlatar belakang biru serupa dengan  "Garuda Biru Indonesia Darurat."

Selain itu petisi penolakan kenaikan PPN 12 persen, di situs Change.Org yang diinisiasi pemilik akun @barengwarga, hingga Minggu 22 Desember 2024 Pukul 14.03  berdasarkan pantauan yang saya lakukan, telah ditandatangani  oleh 170.339 akun.

Petisi ini ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto agar Pemerintah membatalkan rencana pelaksanaan kenaikan PPN.

Mengutip laman Change.Org, salah satu alasan yang disampaikan inisiator, kenaikan PPN akan semakin menyulitkan hidup masyarakat lantaran harga berbagai kebutuhan akan naik.

Rupanya, iming-iming skema paket stimulus ekonomi 2025 yang disampaikan berbarengan dengan pengumuman resmi kenaikan PPN pada Senin, 16 Desember 2024, tak ditelan begitu saja oleh sebagian masyarakat Indonesia.

Entah karena paket stimulusnya dirasakan kurang tepat untuk kepentingan publik, atau karena kenaikan PPN benar-benar dikhawatirkan akan menggerus daya beli masyarakat lebih dalam lagi, sehingga membuat ekonomi yang sudah sulit bertambah sulit lagi.

Bisa jadi juga ada kelindan "trust issue" dengan isu lain yang ujungnya berbau politis. Namun yang jelas protes terus membanjiri ruang publik, yang menandakan rakyat merasa keberatan dengan kenaikan Pajak, 'titik tak pake koma.'

Untuk menjawabnya, saya akan coba membuat analisis sederhana berdasarkan data-data dari berbagai sumber.

Sebelum melangkah lebih jauh, saya akan memberikan sekelumit gambaran sederhana apa itu PPN, sedikit sejarah dan konsepnya.

Sedikit, Tentang Sejarah Pajak Pertambahan Nilai

PPN sebenarnya merupakan salah satu jenis pajak yang relatif baru dan dianggap sebagai bentuk pemajakan modern, menurut Profesor dari Monash University Australia, Katryn James dalam bukunya "The Rise of Value Added Tax" gagasan dasar PPN pertama kali muncul dari dua orang secara terpisah. Seorang pengusaha asal Jerman, Dr. Willhem von Siemens dan Thomas S. Adams seorang ekonom Amerika Serikat.

Bagi von Siemens, PPN merupakan langkah penyelesaian yang tepat untuk mengatasi keruwetan masalah cascading effect  (pajak atas pajak) yang muncul akibat penerapan pajak atas omzet kotor dan pajak penjualan.

Sementara T.S Adams beranggapan cara kerja yang dijalan PPN merupakan versi terbaik Pajak Penghasilan Badan. 

Gagasan ini masih menjadi catatan saja, sampai dimplementasikan pertama kali di Perancis pada tahun 1948, yang dilakukan terbatas hanya untuk pungutan PPN di tahap proses produksi di pabrik.

Baru pada tahun 1954 cakupan pemungutan PPN di Perancis diperluas ke setiap tahapan produksi dan distribusi. Langkah Perancis ini kemudian diiikuti oleh sebagian besar negara-negara di Benua Eropa mulai tahun 1960-an dan 1970-an, sebelum akhirnya meluas ke seluruh dunia.

Menurut data Organization for Economics Co-operation and Development (OECD) hingga tahun 2016, ada 167 negara di seluruh dunia yang telah menerapkan PPN sebagai bentuk pajak atas konsumsi 

Di Indonesia, implementasi penerapan PPN sebagai pengganti pajak penjualan baru dilakukan pada tahun 1985, setelah disahkannya, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983  tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Konsep PPN dan Filosofi Pengenaannya di Indonesia.

Secara Konsep PPN merupakan pajak yang bersifat tidak langsung yang dikenakan atas setiap tahapan penambahan nilai suatu barang atau jasa dalam proses produksi, distribusi hingga sampai ke tangan konsumen akhir.

Penambahan nilai yang dimaksud, misalnya, bahan baku dikenakan PPN saat dijual ke produsen, produk setengah jadi dikenakan PPN ketika dijual ke distributor, dan produk jadi dikenakan PPN lagi saat dijual ke konsumen.

Jadi setiap barang atau jasa tersebut berubah dan bernilai tambah, maka setiap itu pula akan dikenakan PPN. Oleh sebab itu kenaikan PPN 1 persen saja dampak aktualnya akan lebih besar dari kenaikan tarifnya, tergantung pada rantai penambahan nilai tambahnya, bisa 3 atau 4 kali dari nilai kenaikannya.

Sementara, di balik pengenaan PPN didasarkan pada beberapa filosofi dasar yang saling terkait, terutama yang berkaitan dengan keadilan sosial, PPN bertujuan untuk membagi beban pajak secara lebih merata di antara masyarakat. Semakin tinggi konsumsinya maka semakin tinggi  pula kontrbusinya terhadap penerimaan negara melalui PPN.

Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi, cenderung mengkonsumsi lebih banyak barang dan jasa.

Di sisi yang beriringan, PPN juga berusaha menciptakan keadilan horizontal di mana wajib pajak yang memiliki penghasilan dan konsumsi yang sama dikenakan beban pajak yang sama.

Oleh sebab itu, saat ini, Indonesia menganut sistem tarif tunggal PPN yaitu 11 persen yang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan dasar pengenaan pajak (DPP).

Jika memang demikian, artinya kenaikan PPN secara parsial khusus barang mewah dan premium seperti yang akan diterapkan mulai 1 Januari 2025 di mana ada barang dan jasa yang tarif PPN-nya  naik hingga 12 persen dan barang dan jasa lainnya tetap 11 persen, serta barang kebutuhan pokok dan barang penting yang banyak digunakan 0 persen, berarti secara konsep menyalahi sistem tarif tunggal seperti yang selama ini kita anut.

Pemerintah Setia Pada Sistem Tarif Tunggal

Untuk hal ini, Pemerintah cukup lihai melakukan pendekatannya, Indonesia tetap menganut sistem tarif tunggal PPN, makanya barang-barang yang tarif PPN-nya tetap 11 persen, berulang kali disebutkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selisih 1 persennya akan dibayarkan oleh Pemerintah.

Berarti, secara legal dan administratif PPN-nya tetap naik menjadi 12 persen, tapi yang dibayarkan oleh masyarakat 11 persen, kekurangan 1 persennya ditanggung oleh negara.

Atau secara administrasi dapat menggunakan PPN besaran tertentu atau bisa juga memakai DPP Nilai Lain dengan berlandaskan pada tarif PPN umum setelah dinaikan, yakni sebesar 12 persen.

Jadi secara konsep tak ada yang dilanggar atau diubah aturannya, yang mengacu pada Undang-Undang no 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)

Alasan pemerintah Menaikan PPN 

Dari berbagai sumber informasi yang saya himpun, alasan Pemerintah menaikan PPN melalui Undang -Undang HPP, sebenarnya karena tax ratio kita sangat rendah. 

Menurut data Kementerian Keuangan, untuk tahun 2023  tax Ratio Indonesia  berada di angka 10,21 persen.  

Tax ratio adalah total penerimaan pajak berbanding angka produk domestik bruto (PDB) pada masa yang sama.

Tax Ratio 10,21 persen itu sangat rendah, berdasarkan data OECD jauh dibawah rata-rata tax ratio kawasan Asia Pasific yang 19,3 persen. 

International Monetary Fund (IMF) berpandangan jika Indonesia ingin keluar dari jebakan kelas menengah atau middle income trap maka tax ratio-nya minimal harus di atas 12,88 persen.

Artinya tak ada pilihan lagi bagi pemerintah kecuali mencari cara agar tax ratio Indonesia naik, salah satunya dengan menaikan tax rate atau tarif pajak.

Meskipun manaikan tarif pajak bukan satu-satunya cara, ada cara lain, misalnya dengan ekstensifikasi perpajakan, memperluas jumlah wajib pajak dengan menggunakan pendekatan tax administration.

Namun menaikan tarif pajak merupakan cara paling mudah dan dampaknya akan langsung mendorong tax ratio menjadi naik, terlepas dari besarannya, siapapun Pemerintahannya at the end memang harus menaikan tarif pajak.

Daya Beli Masyarakat Melemah

Sayangnya, situasi kurang berpihak kepada kita, di tengah rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen, perekonomian Indonesia seperti yang terlihat dari berbagai indikator ekonomi, menunjukan pelemahan daya beli, sehingga jika tak disikapi secara tepat akan membawa ekonomi Indonesia menuju kondisi "tidak baik-baik saja."

Berdasarkan catatan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), paling tidak ada lima indikator yang menunjukan daya beli masyarakat memang sedang tidak baik-baik saja. Deflasi yang terus terjadi selama 5 bulan beruntun, angka Purchasing Manager Index (PMI) masuk ke dalam zona kontraksi di angka 49,2 sejak bulan Juli 2024.

Kemudian penurunan peserta BPJS Ketenagakerjaan, mengutip Tempo, berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan periode Januari 2023-Mei 2024, ada penurunan tren peserta aktif sebesar 4,27 persen di sektor garmen dan pakaian jadi. 

Penurunan ini menurut INDEF karena terjadi PHK. Dengan adanya PHK ini maka daya beli masyarakat akan drop karena mereka tak lagi memiliki penghasilan.

Indikator lain, adalah menyusutnya tabungan kelas menengah seperti yang disampaikan oleh Lembaga penjamin Simpanan (LPS). Artinya, tabungan kelas menengah habis tergerus untuk kebutuhan konsumsi.

Dalam pandangan sebagian besar masyarakat dan para ahli ekonomi, di titik inilah pertimbangan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen sebaiknya ditunda atau dibatalkan muncul.

Mungkin, seandainya perekonomian Indonesia lagi "asyik" yang ditandai dengan daya beli masyarakat dalam posisi naik, atau paling tidak terjaga stabil, dan indikator ekonomi positif, kenaikan PPN tak akan terlalu banyak dipermasalahkan.

Kelindan Berbagai Isu

Apalagi ditambah dengan trust issue kepada para pengelola negara yang kelihatannya terus semakin menjadi.

Trust issue ini muncul ya akibat kelakuan pemerintah sendiri. Mereka seolah kehilangan sensitifitas terhadap kondisi ekonomi rakyat. Jumlah kabinetnya "raksasa" dan terkesan hanya bagi-bagi kekuasaan.

Belum lagi tingkah para pejabatnya, yang secara personal pun tak menunjukan rasa empati, contoh kecilnya masalah konvoi mobil pejabat di luar Presiden dan Wakil Presiden.

Dan yang terpenting, rakyat tak melihat uang pajaknya mereka akan berguna bagi kesejahteraan rakyat, kecuali menghidupi gaya hidup mewah sang penggamit kekuasaan

Parahnya lagi, kedua isu tersebut kemudian dikemas sedemikian rupa oleh para pelaku politik untuk saling serang satu sama lain. Alhasil urusan kenaikan pajak ini menjadi jauh lebih komplek. 

Di sisi lain, Pemerintah, empunya hajat kenaikan PPN ini terkesan terbata-bata dalam menjelaskan secara menyeluruh, mengapa mereka harus menaikan pajak, padahal "Sikonnya" sedang tak kondusif, memaparkan secara detil mana  barang dan jasa kena pajak dan mana tidak, serta kemana tambahan uang pajak itu akan berlabuh dan untuk apa dan siapa.

Tunda Kenaikan Pajak

Sejatinya tak ada yang bisa membantah bahwa pajak itu memang sangat dibutuhkan negara untuk membiayai operasional pemerintahan dan mensejahterakan rakyatnya.

Dan faktanya, Pemerintah saat ini membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai berbagai program kerjanya, padahal ruang fiskal yang tersedia sangat sempit

Masyarakat tidak bodoh untuk bisa memahami kondisi semuanya, ngerti juga apabila tarif pajak memang harus dinaikan pada akhirnya

Namun, yang diharapkan rakyat dari penolakan kenaikan pajak menjadi 12 persen, mbo yah Pemerintah ini sedikit berempati kepada rakyatnya, "situasi kami lagi susah , tolong jangan tambah lagi kesusahan kami" 

Tunda kenaikan pajak hingga keadaan ekonomi masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan lebih baik lagi, itu saja.

Penutup

Kenaikan PPN 12 persen menempatkan pemerintah dalam dilema yang sulit. Di satu sisi, pemerintah dihadapkan pada tekanan untuk memenuhi target penerimaan negara selain keharusan untuk melaksanakan amanat Undang-Undang HPP.

Di sisi lain, kondisi ekonomi yang belum pulih dan daya beli masyarakat yang melemah menjadi pertimbangan serius.

Alhasil, kebijakan Kenaikan PPN telah memicu kontroversi yang cukup panjang. Alanglah lebih bijaknya apabila, Pemerintah menunda terlebih dahulu kenaikan PPN tersebut, sambil mencari solusi yang lebih komprehensif, seperti memperluas basis pajak, meningkatkan efisiensi belanja negara, dan memberikan perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat yang rentan.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik. Dengan demikian, kebijakan fiskal yang diambil dapat lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun