Bagi von Siemens, PPN merupakan langkah penyelesaian yang tepat untuk mengatasi keruwetan masalah cascading effect  (pajak atas pajak) yang muncul akibat penerapan pajak atas omzet kotor dan pajak penjualan.
Sementara T.S Adams beranggapan cara kerja yang dijalan PPN merupakan versi terbaik Pajak Penghasilan Badan.Â
Gagasan ini masih menjadi catatan saja, sampai dimplementasikan pertama kali di Perancis pada tahun 1948, yang dilakukan terbatas hanya untuk pungutan PPN di tahap proses produksi di pabrik.
Baru pada tahun 1954 cakupan pemungutan PPN di Perancis diperluas ke setiap tahapan produksi dan distribusi. Langkah Perancis ini kemudian diiikuti oleh sebagian besar negara-negara di Benua Eropa mulai tahun 1960-an dan 1970-an, sebelum akhirnya meluas ke seluruh dunia.
Menurut data Organization for Economics Co-operation and Development (OECD) hingga tahun 2016, ada 167 negara di seluruh dunia yang telah menerapkan PPN sebagai bentuk pajak atas konsumsiÂ
Di Indonesia, implementasi penerapan PPN sebagai pengganti pajak penjualan baru dilakukan pada tahun 1985, setelah disahkannya, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 Â tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Konsep PPN dan Filosofi Pengenaannya di Indonesia.
Secara Konsep PPN merupakan pajak yang bersifat tidak langsung yang dikenakan atas setiap tahapan penambahan nilai suatu barang atau jasa dalam proses produksi, distribusi hingga sampai ke tangan konsumen akhir.
Penambahan nilai yang dimaksud, misalnya, bahan baku dikenakan PPN saat dijual ke produsen, produk setengah jadi dikenakan PPN ketika dijual ke distributor, dan produk jadi dikenakan PPN lagi saat dijual ke konsumen.
Jadi setiap barang atau jasa tersebut berubah dan bernilai tambah, maka setiap itu pula akan dikenakan PPN. Oleh sebab itu kenaikan PPN 1 persen saja dampak aktualnya akan lebih besar dari kenaikan tarifnya, tergantung pada rantai penambahan nilai tambahnya, bisa 3 atau 4 kali dari nilai kenaikannya.
Sementara, di balik pengenaan PPN didasarkan pada beberapa filosofi dasar yang saling terkait, terutama yang berkaitan dengan keadilan sosial, PPN bertujuan untuk membagi beban pajak secara lebih merata di antara masyarakat. Semakin tinggi konsumsinya maka semakin tinggi  pula kontrbusinya terhadap penerimaan negara melalui PPN.
Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi, cenderung mengkonsumsi lebih banyak barang dan jasa.