Di sisi yang beriringan, PPN juga berusaha menciptakan keadilan horizontal di mana wajib pajak yang memiliki penghasilan dan konsumsi yang sama dikenakan beban pajak yang sama.
Oleh sebab itu, saat ini, Indonesia menganut sistem tarif tunggal PPN yaitu 11 persen yang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan dasar pengenaan pajak (DPP).
Jika memang demikian, artinya kenaikan PPN secara parsial khusus barang mewah dan premium seperti yang akan diterapkan mulai 1 Januari 2025 di mana ada barang dan jasa yang tarif PPN-nya  naik hingga 12 persen dan barang dan jasa lainnya tetap 11 persen, serta barang kebutuhan pokok dan barang penting yang banyak digunakan 0 persen, berarti secara konsep menyalahi sistem tarif tunggal seperti yang selama ini kita anut.
Pemerintah Setia Pada Sistem Tarif Tunggal
Untuk hal ini, Pemerintah cukup lihai melakukan pendekatannya, Indonesia tetap menganut sistem tarif tunggal PPN, makanya barang-barang yang tarif PPN-nya tetap 11 persen, berulang kali disebutkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selisih 1 persennya akan dibayarkan oleh Pemerintah.
Berarti, secara legal dan administratif PPN-nya tetap naik menjadi 12 persen, tapi yang dibayarkan oleh masyarakat 11 persen, kekurangan 1 persennya ditanggung oleh negara.
Atau secara administrasi dapat menggunakan PPN besaran tertentu atau bisa juga memakai DPP Nilai Lain dengan berlandaskan pada tarif PPN umum setelah dinaikan, yakni sebesar 12 persen.
Jadi secara konsep tak ada yang dilanggar atau diubah aturannya, yang mengacu pada Undang-Undang no 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP)
Alasan pemerintah Menaikan PPNÂ
Dari berbagai sumber informasi yang saya himpun, alasan Pemerintah menaikan PPN melalui Undang -Undang HPP, sebenarnya karena tax ratio kita sangat rendah.Â
Menurut data Kementerian Keuangan, untuk tahun 2023  tax Ratio Indonesia  berada di angka 10,21 persen. Â
Tax ratio adalah total penerimaan pajak berbanding angka produk domestik bruto (PDB) pada masa yang sama.
Tax Ratio 10,21 persen itu sangat rendah, berdasarkan data OECD jauh dibawah rata-rata tax ratio kawasan Asia Pasific yang 19,3 persen.Â