Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melampaui Cukai dan Isu Downgrading, Diperlukan Strategi Komprehensif Menurunkan Prevalensi Perokok di Indonesia

29 September 2024   13:20 Diperbarui: 30 September 2024   07:31 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Pemerintah untuk membatalkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2025 menuai banyak kecaman dari penggiat kesehatan dan kelompok anti tembakau. Mereka berpandangan kondisi tersebut berpotensi meningkatkan prevalensi jumlah perokok, termasuk remaja dan anak-anak.

Pengaruh Cukai Terhadap Pola Konsumsi Rokok

Cukai merupakan salah satu komponen biaya utama dalam produksi rokok, bahkan bisa dikatakan sebagai yang paling signifikan. Cukai, pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki eksternalitas negatif, termasuk rokok, bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan meningkatkan pendapatan negara.

Tingginya tarif cukai secara langsung mempengaruhi harga jual rokok. Semakin tinggi tarif cukai, semakin mahal pula harga rokok. Hal ini bertujuan untuk mengurangi daya beli masyarakat terhadap rokok, sehingga diharapkan konsumsi rokok dapat dikendalikan bahkan diharapkan akan menurun, untuk menghindari dampak buruk dan bahaya bagi kesehatan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 25% per tahun di Indonesia dapat menurunkan prevalensi merokok sebesar 8-10% dalam 5 tahun.

Penelitian lain oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok sebesar 10% dapat menurunkan prevalensi merokok sebesar 1-2%.

Ajaibnya, di Indonesia hasil penelitian itu tak sejalan dengan praktiknya, meskipun tarif cukai rokok dinaikkan secara konsisten, dalam 5 tahun terakhir, yang menurut Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau, Makanan, dan Minuman secara kumulatif telah mencapai 67,5 persen.

Namun tujuan utamanya untuk mengendalikan konsumsi rokok apalagi menurunkannya tak sepenuhnya tercapai. Menurut Data Tobacca Control Atlas ASEAN Region, jumlah perokok pemula malah melonjak hingga 16,7 juta orang dalam lima tahun terakhir.

Alhasil, secara umum jumlah perokok di Indonesia kini mencapai 65,7 juta orang. Salah satu yang tertinggi di dunia dengan 63 persen laki-laki dewasa dan 38,3 persen remaja yang merokok.

Fenomena Downgrading dan Efeknya Terhadap Efektivitas Kenaikan Cukai

Fenomena ini mungkin tidak ditemukan di banyak negara, terutama di negara-negara maju, di mana kenaikan tarif cukai yang berimbas langsung pada tingginya harga jual rokok, berbanding lurus dengan menurunnya prevalensi jumlah perokok.

Berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, perokok lebih memilih mengakali tingginya harga rokok akibat kenaikan cukai, dengan cara menurunkan "kasta" rokok yang biasa dihisapnya ke rokok yang berharga lebih murah (downgrading) atau lebih parah lagi mereka beralih ke rokok yang ilegal, daripada harus berhenti.

Mengapa downgrading menjadi dimungkinkan? Sejauh pengamatan dan apa yang saya rasakan di lapangan sebagai salah satu konsumen rokok.

Hal tersebut dapat terjadi, terutama, karena pasar rokok di Indonesia sudah mature dengan ekosistem yang cukup establish dan meluas sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menawarkan berbagai merek dan jenis rokok dengan harga yang bervariasi secara vertikal, mulai dari rokok premium hingga rokok murah, maupun secara horizontal di mana rasanya nyaris sama tapi harganya berbeda.

Hal ini memberikan fleksibilitas bagi konsumen rokok untuk menyesuaikan konsumsi mereka dengan kemampuan finansialnya.

Jika mengacu pada konsep substitusi dalam ilmu ekonomi, karena situasi dan tekanan dari berbagai sisi terutama masalah harga, rokok yang tadinya digolongkan pada pola substitusi tidak sempurna di mana dua barang dapat saling menggantikan, tetapi dengan tingkat kepuasan yang berbeda. 

Bermetamorfosis menjadi barang yang memiliki pola substitusi sempurna, dua barang dapat saling menggantikan secara sempurna tanpa mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen.

Sebagai gambaran, perokok yang terbiasa dengan rokok kretek filter tertentu bersedia beralih ke merek lain berjenis yang sama jika harganya lebih murah dan ini tak mempengaruhi kepuasannya.

Pola ini bisa terealisasi lantaran disokong dari kedua sisi, baik konsumennya yang bersedia turun kasta, maupun produsennya yang menyediakan variasi produknya.

Itulah yang terjadi saat ini, selain karena kurangnya pemahaman tentang dampak buruk rokok terhadap kesehatan dapat membuat perokok lebih memilih untuk beralih ke rokok murah daripada berhenti merokok.

Lantas bagaimana downgrading ini memengaruhi efektivitas kenaikan cukai?

Meskipun harga rokok naik, perokok tetap melanjutkan kebiasaan merokok dengan beralih ke merek atau jenis rokok yang lebih murah. Hal ini berarti konsumsi rokok secara keseluruhan tidak berkurang secara signifikan, sehingga tujuan pengendalian konsumsi tidak tercapai sepenuhnya.

Mungkin saja kenaikan harga rokok, mendorong perokok untuk mengurangi jumlah batang rokok yang mereka konsumsi, tetapi mereka tetap terpapar risiko kesehatan yang terkait dengan merokok. Downgrading tidak menghilangkan bahaya rokok bagi kesehatan.

Lebih parahnya lagi, sudahlah mengurangi efektivitasnya dalam menurunkan prevalensi jumlah perokok, downgrading ini juga menggerus pendapatan negara.

Ketika perokok beralih ke rokok yang lebih murah, penerimaan cukai dari penjualan rokok tersebut juga lebih rendah. Hal ini berarti kenaikan cukai tidak menghasilkan peningkatan pendapatan negara yang optimal seperti yang diharapkan.

Harus diingat, downgrading juga dapat mendorong peningkatan permintaan rokok ilegal yang harganya jauh lebih murah daripada rokok legal. Rokok ilegal tidak dikenakan cukai, sehingga merugikan negara dari segi penerimaan dan juga sulit diawasi kualitasnya.

Dilema Pemerintah: Kesehatan vs Ekonomi

Fenomena downgrading yang kian merebak inilah yang menjadi salah satu dasar Pemerintah membatal kenaikan tarif cukai rokok pada tahun depan, seperti disampaikan Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani.

"Kebijakan cukai hasil tembakau 2025 ini tentunya bisa mempertimbangkan downgrading, yaitu dari perbedaan antara rokok golongan I dengan golongan III," ungkapnya, seperti dilansir Kontan.co.id.

Mungkin yang perlu dilakukan agar fenomena downgrading ini bisa dieliminasi adalah dengan cara mengubah struktur cukai menjadi lebih progresif dan sederhana.

Saat ini Pemerintah menerapkan sistem cukai spesifik bertingkat, di mana tarif cukai ditentukan berdasarkan beberapa faktor, mulai dari jenis rokoknya yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Tangan (SPT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM).

Golongan Harga Jual Eceran (HJE) dan volume produksinya, semakin besar produksinya, semakin tinggi pula tarif cukainya.

Berdasarkan PMK Nomor 191/2022 yang mengatur tarif cukai, kenaikan cukai rokok tertinggi dikenakan pada jenis SPM golongan 1 yang naik 11,9 persen.

Sementara yang terendah jenis SKT golongan III yang kenaikannya hanya 3,3 persen.

Struktur cukai yang cukup kompleks dan rumit ini, menyulitkan produsen, konsumen, dan bahkan petugas pajak untuk memahami dan menerapkannya.

Dan kurang efektif dalam pengendalian konsumsi karena strukturnya yang bertingkat dapat mendorong downgrading, sehingga mengurangi efektivitas cukai dalam mengendalikan konsumsi rokok.

Menaikkan tarif cukai untuk jenis rokok berharga murah seperti SKT, mungkin bisa dilakukan sehingga disparitas harganya tak terlalu jauh dengan jenis rokok SPM yang cukainya tinggi, sehingga perbedaannya lebih tipis, dengan demikian dapat mengurangi downgrading.

Namun, jika hal ini dilakukan dampaknya akan cukup berat bagi industri rokok dan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Lantaran industri SKT itu padat karya, jika karena kenaikan tarif cukai dan harganya naik, penjualannya menjadi menurun, maka otomatis produksinya juga akan berkurang, salah kelola bisa bubar jalan.

Apabila itu yang terjadi jutaan pekerja bakal di PHK, dampaknya bukan hanya ke urusan ekonomi tapi juga menjalar menjadi isu sosial dan politik.

Oleh sebab itu, untuk urusan tarif cukai rokok ini seluruh stakeholder terkait harus duduk bersama mencari solusi yang terbaik bagi semuanya.

Terus menerus menaikkan harga rokok secara serampangan hanya untuk memenuhi hasrat satu pihak juga bukan keputusan yang bijaksana, perlu ada titik keseimbangan, agar industrinya bisa jalan tapi karena ada faktor eksternalitas negatifnya, konsumsinya tetap harus terkendali.

Ingat, ngomongin urusan rokok ini berkaitan sangat erat dengan adiksi alias kecanduan, karena rokok itu candu.

Menyelesaikannya bukan dengan cara terus menerus menaikkan harga jualnya, karena kalau sudah jadi candu, apapun akan dilakukan untuk mendapatkannya, termasuk dengan hal-hal yang berbau kriminal, seperti beredarnya rokok-rokok ilegal.

Jangan sampai rokok menjadi produk racketeering, seperti produk alkohol di Amerika Serikat zaman Al Capone, yang akan menjadi mainan para kriminal.

Solusi Komprehensif

Kenaikan cukai rokok, perlu dibarengi dengan strategi komprehensif lainnya, seperti Edukasi dan sosialisasi bahaya rokok yang masif, penegakan hukum yang ketat terhadap penjualan rokok ilegal dan kepada anak di bawah umur, pembatasan iklan dan promosi rokok, serta program bantuan berhenti merokok dan diversifikasi ekonomi di daerah yang bergantung pada industri tembakau.

Hanya dengan pendekatan multi-aspek ini, kita bisa berharap melihat penurunan prevalensi perokok di Indonesia secara signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun