Hal tersebut dapat terjadi, terutama, karena pasar rokok di Indonesia sudah mature dengan ekosistem yang cukup establish dan meluas sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menawarkan berbagai merek dan jenis rokok dengan harga yang bervariasi secara vertikal, mulai dari rokok premium hingga rokok murah, maupun secara horizontal di mana rasanya nyaris sama tapi harganya berbeda.
Hal ini memberikan fleksibilitas bagi konsumen rokok untuk menyesuaikan konsumsi mereka dengan kemampuan finansialnya.
Jika mengacu pada konsep substitusi dalam ilmu ekonomi, karena situasi dan tekanan dari berbagai sisi terutama masalah harga, rokok yang tadinya digolongkan pada pola substitusi tidak sempurna di mana dua barang dapat saling menggantikan, tetapi dengan tingkat kepuasan yang berbeda.Â
Bermetamorfosis menjadi barang yang memiliki pola substitusi sempurna, dua barang dapat saling menggantikan secara sempurna tanpa mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen.
Sebagai gambaran, perokok yang terbiasa dengan rokok kretek filter tertentu bersedia beralih ke merek lain berjenis yang sama jika harganya lebih murah dan ini tak mempengaruhi kepuasannya.
Pola ini bisa terealisasi lantaran disokong dari kedua sisi, baik konsumennya yang bersedia turun kasta, maupun produsennya yang menyediakan variasi produknya.
Itulah yang terjadi saat ini, selain karena kurangnya pemahaman tentang dampak buruk rokok terhadap kesehatan dapat membuat perokok lebih memilih untuk beralih ke rokok murah daripada berhenti merokok.
Lantas bagaimana downgrading ini memengaruhi efektivitas kenaikan cukai?
Meskipun harga rokok naik, perokok tetap melanjutkan kebiasaan merokok dengan beralih ke merek atau jenis rokok yang lebih murah. Hal ini berarti konsumsi rokok secara keseluruhan tidak berkurang secara signifikan, sehingga tujuan pengendalian konsumsi tidak tercapai sepenuhnya.
Mungkin saja kenaikan harga rokok, mendorong perokok untuk mengurangi jumlah batang rokok yang mereka konsumsi, tetapi mereka tetap terpapar risiko kesehatan yang terkait dengan merokok. Downgrading tidak menghilangkan bahaya rokok bagi kesehatan.
Lebih parahnya lagi, sudahlah mengurangi efektivitasnya dalam menurunkan prevalensi jumlah perokok, downgrading ini juga menggerus pendapatan negara.