Kebutuhan ini memerlukan investasi yang signifikan, yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai oleh pendapatan negara saat ini. Utang dapat menjadi solusi untuk membiayai investasi ini dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Selain itu, perekonomian suatu negara tidak selalu stabil. Ada masa-masa pertumbuhan yang tinggi, tetapi juga ada masa-masa resesi atau krisis.Â
Pada masa-masa sulit, pendapatan negara cenderung menurun, sementara pengeluaran untuk program-program sosial dan stimulus ekonomi meningkat. Utang dapat membantu negara mengatasi fluktuasi ini dan menjaga stabilitas ekonomi, seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19, di mana belanja negara meningkat tajam sementara pendapatan menurun drastis.
Kondisi Utang Indonesia Saat Ini
Berdasarkan data APBN Kita edisi Agustus 2024, per Juli 2024, posisi utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.502 triliun.Â
Angka ini secara nominal memang terlihat besar, namun perlu dilihat secara proporsional dengan menggunakan rasio utang terhadap PDB, yaitu perbandingan antara total utang suatu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan nilai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu tahun.
Rasio utang terhadap PDB Indonesia saat ini berada di kisaran 38,08%, jauh di bawah batas aman 60% yang ditetapkan undang-undang. Selain itu, beberapa indikator lain juga menunjukkan pengelolaan utang yang sehat, antara lain, Avarage Time to Maturity (ATM)Â utang Indonesia relatif panjang, menunjukkan risiko gagal bayar yang rendah.
Memang, utang jatuh tempo Indonesia akan mengalami lonjakan cukup signifikan dalam 3 tahun mendatang, sebelum berangsur-angsur turun. Kenaikan utang jatuh tempo ini adalah bagian dari efek pandemi.
Mengutip data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR-Kemenkeu), pada tahun ini mencapai Rp434,29 triliun, dalam bentuk SBN sebesar Rp371,8 triliun dan pinjaman langsung Rp62,49 triliun.
Kemudian, komposisi utang didominasi oleh utang jangka panjang dan utang dalam negeri, mengurangi risiko nilai tukar dan ketergantungan pada asing, dengan mayoritas berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7. 642,25 triliun. Sisanya pinjaman langsung sebesar Rp1.040,44 triliun.
Secara nominal jumlahnya terlihat "menyeramkan", tapi itu tak akan jadi masalah sepanjang persepsi terhadap APBN, ekonomi nasional secara keseluruhan dan kondisi politik Indonesia baik, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Mengapa demikian?