Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Utang Negara dalam Pusaran Politisasi, Antara Rasionalitas dan Hasrat Berkuasa

10 September 2024   06:48 Diperbarui: 11 September 2024   09:24 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- utang. (Shutterstock/Indz via Kompas.com)

Utang negara, sebuah topik yang kerap kali memicu perdebatan sengit, terutama di ranah politik dan media sosial. Menjelang Pemilihan Umum, isu utang negara seakan menjadi "senjata" ampuh bagi pihak oposisi untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa. 

Di sisi lain, pemerintah yang sedang berkuasa pun tak jarang memanfaatkan isu ini untuk menunjukkan keberhasilan dalam pengelolaan ekonomi atau membenarkan kebijakan-kebijakan tertentu.

Mengapa utang negara begitu mudah dipolitisasi? Salah satu alasannya adalah kompleksitas dan sensitivitas isu ini, yang melibatkan berbagai variabel ekonomi dan politik. 

Pemahaman yang kurang memadai tentang konsep utang negara di sebagian besar masyarakat, dapat menyebabkan kesalahpahaman dan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

Selain itu, perbedaan pandangan yang signifikan di antara berbagai kelompok politik mengenai bagaimana seharusnya utang negara dikelola juga turut memperkeruh suasana. 

Beberapa pihak mungkin lebih konservatif dan menekankan pentingnya penghematan dan pengurangan utang, seperti yang diungkapkan oleh ekonom Friedrich Hayek yang berpendapat bahwa utang yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan inflasi.

Sementara yang lain mungkin lebih progresif dan berpendapat bahwa utang dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, sejalan dengan pandangan John Maynard Keynes yang menganjurkan penggunaan kebijakan fiskal ekspansif, termasuk utang, untuk mengatasi resesi.

Walaupun, pada akhirnya, siapapun yang berkuasa, saat memerintah pasti akan menambah utang negara. 

Tapi ya begini lah yang terjadi, politik itu kan tentang persepsi, karena keinginan berkuasa, sesuatu yang lazim dalam pengelolaan keuangan negara, seperti utang negara, bisa di twist sedemikian rupa untuk membuat persepsi masyarakat terhadap pemerintah menjadi tidak baik.

Medcom.id
Medcom.id

Saking sensitifnya utang negara dipersepsikan politis, dipicu sedikit saja, urusan ini dapat menyulut emosi publik terutama jika dikaitkan dengan isu-isu sensitif lainnya seperti kedaulatan negara, kesejahteraan masyarakat, atau beban generasi mendatang.

Alasan Negara Berutang

Sebenarnya kenapa sih sebuah negara itu harus berutang?

Sederhananya, karena pendapatan negara lebih sedikit dibandingkan belanja negara, yang dalam istilah ekonomi disebut defisit.

Ya kalau begitu, kenapa tak diseimbangkan saja antara pendapatan dan belanjanya?

Tentu saja, menyeimbangkan pendapatan dan belanja negara merupakan situasi yang ideal, akan tetapi ada berbagai faktor yang membuatnya sulit dicapai dalam praktiknya. Teori-teori ekonomi pun memberikan justifikasi mengapa utang negara bisa menjadi pilihan yang rasional

Teori Keynesian, dalam situasi resesi atau krisis, pemerintah perlu meningkatkan pengeluaran untuk mendorong permintaan agregat dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. 

Utang dapat menjadi sumber pembiayaan untuk kebijakan fiskal ekspansif ini. Seperti yang diungkapkan oleh John Maynard Keynes, "Dalam jangka panjang, kita semua mati. Oleh karena itu, lebih baik melakukan sesuatu sekarang untuk memperbaiki ekonomi daripada menunggu keajaiban terjadi."

Teori Pertumbuhan Neoklasik, investasi dalam infrastruktur dan modal manusia dapat meningkatkan produktivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. 

Utang dapat digunakan untuk membiayai investasi-investasi ini, terutama jika pendapatan negara saat ini terbatas. Ekonom Robert Solow menekankan pentingnya akumulasi modal untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Teori Siklus Ekonomi Politik, Pemerintah mungkin terdorong untuk meningkatkan pengeluaran menjelang pemilihan umum untuk mendapatkan dukungan politik, meskipun hal ini dapat menyebabkan defisit anggaran. Utang dapat digunakan untuk membiayai defisit ini.

Dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, kebutuhan akan pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan sangat besar. 

Kebutuhan ini memerlukan investasi yang signifikan, yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai oleh pendapatan negara saat ini. Utang dapat menjadi solusi untuk membiayai investasi ini dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Selain itu, perekonomian suatu negara tidak selalu stabil. Ada masa-masa pertumbuhan yang tinggi, tetapi juga ada masa-masa resesi atau krisis. 

Pada masa-masa sulit, pendapatan negara cenderung menurun, sementara pengeluaran untuk program-program sosial dan stimulus ekonomi meningkat. Utang dapat membantu negara mengatasi fluktuasi ini dan menjaga stabilitas ekonomi, seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19, di mana belanja negara meningkat tajam sementara pendapatan menurun drastis.

Kondisi Utang Indonesia Saat Ini

Berdasarkan data APBN Kita edisi Agustus 2024, per Juli 2024, posisi utang pemerintah Indonesia mencapai Rp8.502 triliun. 

Angka ini secara nominal memang terlihat besar, namun perlu dilihat secara proporsional dengan menggunakan rasio utang terhadap PDB, yaitu perbandingan antara total utang suatu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) yang merupakan nilai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu tahun.

Rasio utang terhadap PDB Indonesia saat ini berada di kisaran 38,08%, jauh di bawah batas aman 60% yang ditetapkan undang-undang. Selain itu, beberapa indikator lain juga menunjukkan pengelolaan utang yang sehat, antara lain, Avarage Time to Maturity (ATM) utang Indonesia relatif panjang, menunjukkan risiko gagal bayar yang rendah.

DJPPR-Kemenkeu
DJPPR-Kemenkeu
Memang, utang jatuh tempo Indonesia akan mengalami lonjakan cukup signifikan dalam 3 tahun mendatang, sebelum berangsur-angsur turun. Kenaikan utang jatuh tempo ini adalah bagian dari efek pandemi.

Mengutip data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR-Kemenkeu), pada tahun ini mencapai Rp434,29 triliun, dalam bentuk SBN sebesar Rp371,8 triliun dan pinjaman langsung Rp62,49 triliun.

Kemudian, komposisi utang didominasi oleh utang jangka panjang dan utang dalam negeri, mengurangi risiko nilai tukar dan ketergantungan pada asing, dengan mayoritas berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7. 642,25 triliun. Sisanya pinjaman langsung sebesar Rp1.040,44 triliun.

Secara nominal jumlahnya terlihat "menyeramkan", tapi itu tak akan jadi masalah sepanjang persepsi terhadap APBN, ekonomi nasional secara keseluruhan dan kondisi politik Indonesia baik, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Mengapa demikian?

Karena utang Indonesia mayoritas berbentuk SBN sehingga bisa di-revolving, hanya saja yang harus diperhatikan adalah biaya yang harus dikeluarkan dalam bentuk bunga yang akan dibayarkan, agar ada di posisi yang wajar.

Namun, selama perekonomian dan politik Indonesia stabil, biaya revolving-nya kemungkinan tak akan besar.

Sebagai ilustrasi tambahan, utang yang berasal dari penerbitan SBN terdiri dari SBN domestik senilai Rp5.993,14 triliun dan SBN valuta asing mencapai Rp1.468,81 triliun.

Sedangkan pinjaman langsung, berasal dari pinjaman dalam negeri Rp39,95 triliun serta pinjaman luar negeri sebesar Rp1.000,49 triliun.

Sekali lagi, rasionalitas utang negara ini bukan berarti menjadikan pemerintah bisa semena-mena berutang, pengelolaannya tetap harus penuh kehati-hatian, tapi jangan juga terus menerus digoreng sedemikian rupa hingga menimbulkan dampak buruk, seperti hilangnya kepercayaan, yang pada akhirnya akan merugikan kita semua.

Utang negara, seperti halnya banyak isu ekonomi lainnya, kerap kali terjebak dalam pusaran politisasi dan perdebatan emosional. Namun, di balik angka-angka dan retorika politik, terdapat landasan teori ekonomi yang kokoh yang menjelaskan mengapa utang negara bisa menjadi pilihan yang rasional dan bahkan diperlukan.

Memahami utang negara secara komprehensif, termasuk alasan di baliknya, cara mengelolanya, dan indikator-indikator kesehatannya, adalah kunci untuk menghindari kesalahpahaman dan pemanfaatan isu ini untuk kepentingan politik semata. 

Mari kita bangun diskusi yang lebih rasional dan konstruktif tentang utang negara, demi masa depan bangsa yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun