Pertama, cyber security, keamanan siber menjadi momok yang harus diwaspadai, potensi kebocoran data meningkat sejalan dengan meningkatnya volume layanan digital.
Oleh sebab itu sistem yang dibangun harus memiliki keamanan yang kuat, untuk melindungi transaksi pengguna dan data nasabah.
Kedua, meningkatnya risiko fraud atau penipuan seiring semakin tingginya aktivitas keuangan digital. Apabila tak dapat diatasi akan berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap ekosistem keuangan digital.
Selanjutnya, regulasi yang adaptif dan memberi ruang untuk inovasi. Pergerakan cepat dunia digital harus diiringi dengan regulasi yang memadai, up to date tapi tak menghambat inovasi
Dan terakhir, kembali ke urusan literasi keuangan masyarakat plus inklusi keuangan, lantaran meskipun banyak sekali kemajuan yang telah tercipta, tapi masih ada sebagian masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan keuangan digital.
Lietarasi keuangan dan inklusi keuangan masyarakat ini seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, harus dilakukan secara simultan dan masif.
Meskipun dalam pandangan saya, idealnya tingkat literasi keuangan dan digital  harus lebih tinggi dibandingkan dengan inklusi keuangan dan digital masyarakat atau paling tidak gapnya tak terlalu jauh, agar peristiwa seperti di Desa Arjasa Situbundo tadi tak terjadi terus menerus.
Sebagai gambaran, menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLK) yang dilaksanakan OJK pada tahun 2022.
Indeks Literasi Keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen naik dibanding tahun 2019 yang hanya 38,03 persen.
Sedangkan Indeks Inklusi keuangan masyarakat Indonesia pada tahun yang sama sebesar 85,10 persen meningkat dibandingkan tahun 2019 yang berada di angka 76,19 persen.
Terlihat jelas ada gap cukup signifikan antara literasi dan inklusi keuangan, meski terlihat mulai menyempit dari sebelumnya 38,16 persen menjadi 35,45 persen.