Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Literasi Keuangan dan Digital Masyarakat, Pondasi Pengembangan Ekosistem Keuangan Digital

24 Juli 2024   12:47 Diperbarui: 24 Juli 2024   12:53 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, viral di media sosial kasus di Desa Arjasa, Situbondo, Jawa Timur, di mana warga diminta foto KTP dan selfie saat membeli minyak goreng murah. Meskipun masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan, kejadian ini menjadi pengingat pentingnya literasi keuangan dan menjaga keamanan data.

Menyikapi peristiwa ini,  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seperti diungkapkan oleh Komisioner/ Kepala Eksekutif Pengawas Bidang Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi, mengimbau kepada masyarakat agar selalu berhati-hati dan waspada terhadap berbagai modus penyalahgunaan data, baik menggunakan skema social engineering (soceng) online maupun offline, phising, atau bahkan barter data antar pelaku usaha jasa keuangan.

Persoalannya, tanpa literasi keuangan dan literasi digital yang memadai terutama dalam hal perlindungan data pribadi, masyarakat rentan menjadi korban.

Literasi keuangan tidak hanya tentang memahami cara mengelola keuangan pribadi, tetapi juga tentang memahami risiko, hak, dan kewajiban sebagai konsumen jasa keuangan. Masyarakat perlu tahu bagaimana memilih produk keuangan yang sesuai kebutuhan, memahami isi kontrak serta mengenali ciri-ciri penipuan.

Sementara itu, literasi digital mencakup pemahaman tentang pentingnya menjaga kerahasiaan data pribadi, mengenali potensi ancaman seperti malware dan ransomware, serta langkah-langkah yang harus diambil jika terjadi kebocoran data.

Bagi pelaku usaha jasa keuangan (PUJK), semakin tingginya literasi keuangan dan digital masyarakat, semakin mudah bagi mereka untuk menjual produknya, yang kemudian dapat mendorong pertumbuhan ekosistem keuangan digital secara berkelanjutan.

Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, industri keuangan berbasis digital meningkat sangat pesat. Hal tersebut dapat dilihat dari banyak munculnya produk-produk keuangan digital, mulai dari e-wallet seperti Gopay, Dana, atau Ovo, digital banking, hingga pinjaman online alias pinjol.

Menurut catatan Bank Indonesia (BI), 90 persen bank umum yang beroperasi di Indonesia sekarang ini sudah memiliki layanan digital. Penggunaan digital payment, perputarannya sudah berada dikisaran Rp60.000 triliun.

Jumlah merchant yang memanfaatkan platform digital sebagai lapak jualannya terus tumbuh hingga saat ini mencapai 33 juta pelaku usaha.

Namun dibalik keindahan data, yang menggambarkan kemajuan pesat industri keuangan digital tersebut, berkelindan  sejumlah tantangan yang harus dihadapi.

Menurut Deputi Gubernur BI, Yuda Agung seperti yang ia sampaikan dalam Digital Bank Summit 2024 yang saya hadiri pada Selasa(23/07/2024) kemarin, paling tidak ada empat tantangan besar dalam mendorong pertumbuhan ekosistem keuangan digital.

Pertama, cyber security, keamanan siber menjadi momok yang harus diwaspadai, potensi kebocoran data meningkat sejalan dengan meningkatnya volume layanan digital.

Oleh sebab itu sistem yang dibangun harus memiliki keamanan yang kuat, untuk melindungi transaksi pengguna dan data nasabah.

Kedua, meningkatnya risiko fraud atau penipuan seiring semakin tingginya aktivitas keuangan digital. Apabila tak dapat diatasi akan berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap ekosistem keuangan digital.

Selanjutnya, regulasi yang adaptif dan memberi ruang untuk inovasi. Pergerakan cepat dunia digital harus diiringi dengan regulasi yang memadai, up to date tapi tak menghambat inovasi

Dan terakhir, kembali ke urusan literasi keuangan masyarakat plus inklusi keuangan, lantaran meskipun banyak sekali kemajuan yang telah tercipta, tapi masih ada sebagian masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan keuangan digital.

Lietarasi keuangan dan inklusi keuangan masyarakat ini seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, harus dilakukan secara simultan dan masif.

Meskipun dalam pandangan saya, idealnya tingkat literasi keuangan dan digital  harus lebih tinggi dibandingkan dengan inklusi keuangan dan digital masyarakat atau paling tidak gapnya tak terlalu jauh, agar peristiwa seperti di Desa Arjasa Situbundo tadi tak terjadi terus menerus.

Sebagai gambaran, menurut hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLK) yang dilaksanakan OJK pada tahun 2022.

Indeks Literasi Keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen naik dibanding tahun 2019 yang hanya 38,03 persen.

Sedangkan Indeks Inklusi keuangan masyarakat Indonesia pada tahun yang sama sebesar 85,10 persen meningkat dibandingkan tahun 2019 yang berada di angka 76,19 persen.

Terlihat jelas ada gap cukup signifikan antara literasi dan inklusi keuangan, meski terlihat mulai menyempit dari sebelumnya 38,16 persen menjadi 35,45 persen.

Hasil survei ini menunjukan bahwa, masyarakat banyak yang sudah menggunakan produk -produk jasa industri keuangan. Namun mereka belum bisa memanfaatkan dan memahami fungsinya dengan baik, begitu pun dengan  kekurangan dan kelebihan serta hak dan kewajiban sebuah produk keuangan.

Akibatnya, alih-alih mendapat manfaat dari menggunakan produk jasa keuangan mereka malah terjebak di dalam pusaran dunia keuangan yang tak mereka pahami. Bahkan ada banyak dari mereka yang dijebak oleh produk jasa keuangan iilegal.

Kondisi ini memunculkan collateral damage di tengah masyarakat, korban yang tak sengaja tercipta karena sebuah kondisi dan tak terelakan. Seperti korban pinjol, soceng, phising dan upaya -upaya fraud lainnya.

Karena kejadian-kejadian yang merugikan masyarakat terus berulang maka kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan khususnya keuangan berbasis digital menurun,, dan memunculkan trust issue terhadap ekosistem keuangan digital.

Oleh sebab itu, selain meningkatkan inklusi keuangan dan digital hal terpenting lain yang harus dilakukan adalah meluncurkan berbagai inisiatif terkait literasi keuangan dan digital secara lebih masif dan efektif lagi.

Dan itu harus dilakukan oleh seluruh stakeholder sektor jasa keuangan, mulai dari regulator dan pengawas dalam hal ini OJK, BI, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan yang lainnya. Pelaku usaha jasa keuangan, dan masyarakat 

Sebagai contoh, OJK kini sudah sangat masif melakukan program-program terkait literasi keuangan, untuk segala strata sosial dan umur.

OJK.go.id
OJK.go.id
Bahkan OJK melakukan literasi keuangan sejak dini di tingkat PAUD dengan menerbitkan seri literasi keuangan OLIN, yang bukunya bisa diunduh disini

Literasi keuangan dan digital, menjadi kunci penting dalam mendorong pembangunan ekosistem keuangan digital masyarakat. 

Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat dapat membuat keputusan keuangan yang bijak, melindungi diri dari risiko, dan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh teknologi. Kolaborasi antara pemerintah, regulator, pelaku industri, dan masyarakat adalah kunci untuk mewujudkan ekosistem keuangan digital yang aman, inklusif, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun