Tetapi bukan berarti pelabelan, tak nerpotensi untuk mengubah pola konsumsi gula masyarakat. Hanya saja tantangannya adalah bagaimana membuat informasi ini mudah dipahami oleh semua orang.Â
Label yang terlalu rumit atau membingungkan justru akan membuat konsumen kesulitan mengambil keputusan.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan produsen untuk bekerja sama menciptakan sistem pelabelan gula yang sederhana, jelas, dan mudah dipahami oleh semua kalangan.
Di luar masalah pelabelan, salah satu cara lain yang dianggap lebih efektif adalah dengan pemberlakuan cukai terhadap minuman berpemanis, yang rencananya akan mulai diberlakukan di Indonesia tahun 2024 ini
Menurut informasi dari Kementerian Keuangan, Cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) telah masuk ke dalam Nota Keuangan untuk tahun 2024.
Cukai merupakan instrumen kebijakan fiskal yang memiliki fungsi strategis dalam pengendalian konsumsi barang-barang tertentu yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap kesehatan, lingkungan, atau ketertiban umum.Â
Penerapan cukai didasarkan pada prinsip "sin taxes," yaitu pajak yang dikenakan pada barang-barang yang menimbulkan eksternalitas negatif.
Di beberapa negara yang telah lebih dahulu memberlakukan kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis terbukti efektif mengurangi konsumsi minuman berpemanis.
Studi di Meksiko (2017) menemukan penurunan 12% setelah satu tahun penerapan cukai 20%. Di Berkeley, California, cukai 1 sen per ons menurunkan konsumsi sebesar 21% dalam tiga tahun.
Contoh menarik lain, di Hungaria pemberlakuan cukai dilakukan secara simultan dengan penerapan kebijakan pelabelan yang jelas serta edukasi publik yang dilakukan secara masif tentang bahaya gula dan hasilnya sangat efektif menurunkan konsumsi gula tambahan secara signifikan.
Di Indonesia rencananya,menurut informasi dari Kemenkeu, tarif cukai yang akan dikenakan adalah Rp300 per gram gula berlaku untuk minuman dengan kandungan gula lebih dari 5 gram per 100 ml.Â