Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gula, Racun Manis yang Harus Diwaspadai, Pelabelan dan Cukai Menjadi Penawarnya

13 Juli 2024   06:48 Diperbarui: 13 Juli 2024   06:49 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gula dan rasa manis itu, adalah sebuah kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Keberadaannya tak pernah jauh dari kita, hampir seluruh bahan pangan yang dikonsumsi manusia mengandung gula.

Rasa manis dari gula cenderung menimbulkan "rasa senang" karena gula memicu produksi hormon dopamin, oleh sebab itu gula  bisa menjadi candu yang sulit dilepaskan.

Semakin sering kita mengonsumsinya, semakin besar keinginan kita untuk terus mengonsumsi gula

Mengutip sejumlah sumber informasi tentang kesehatan, gula merupakan karbohidrat sederhana yang cepat dicerna tubuh, sehingga dapat menyebabkan lonjakan gula darah yang drastis.

Namun lonjakan diikuti oleh penurunan yang sama cepatnya, membuat kita merasa lelah dan lapar lagi.

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi obesitas di Indonesia mencapai 21,8%. Salah satu penyebab utama obesitas adalah konsumsi gula berlebih. Gula mengandung kalori tinggi namun minim nutrisi, sehingga jika dikonsumsi berlebihan akan disimpan sebagai lemak dalam tubuh.

Di luar obesitas, gula juga meningkatkan risiko diabetes tipe 2. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal PLOS Medicine menemukan bahwa setiap tambahan 150 kalori gula per hari (setara dengan sekaleng minuman bersoda) meningkatkan risiko diabetes sebesar 1,1%.

Sebuah penelitian lain yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Internal Medicine mengungkapkan bahwa orang yang mengonsumsi 17-21% kalori harian dari gula tambahan memiliki risiko kematian akibat penyakit jantung 38% lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya mengonsumsi 8% kalori dari gula tambahan.

Selain itu, gula merupakan makanan bagi bakteri di mulut. Saat kita mengonsumsi makanan atau minuman manis, bakteri akan menghasilkan asam yang merusak enamel gigi, menyebabkan gigi berlubang.

Tak hanya merusak kesehatan, mengkonsumsi gula secara berlebihan bisa mencuri kecantikan seseorang, antara lain dengan penuaan dini, lantaran gula merusak kolagen dan elastin, protein yang menjaga kulit tetap kencang dan elastis. Akibatnya, kulit kita akan kehilangan kekenyalannya dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.

Gula juga bisa menjadi salah satu musabab munculnya jerawat membandel, karena memicu produksi minyak berlebih di kulit, menyumbat pori-pori, dan akhirnya menimbulkan jerawat yang tak kunjung hilang.

Dengan deretan begitu banyak kerugian yang ditimbulkan oleh konsumsi gula berlebihan, sudah benar pelabelan kandungan gula dilakukan, demi mencegah korban-korban "gula" terus berjatuhan.

Pelabelan kandungan gula pada makanan dan minuman kemasan itu seperti "jendela" yang memberikan informasi penting. Kita bisa melihat seberapa banyak gula yang sebenarnya tersembunyi di balik ragam kemasan menarik itu, dan kita bisa membuat pilihan yang lebih bijak untuk kesehatan.

Namun demikian, pelabelan kandungan gula di kemasan tak akan ada artinya jika kita semua, masyarakat awam tak paham standar baku berapa kadar gula dalam setiap kemasan yang bisa dikonsumsi.

Di sinilah repotnya, karena kadar gula dalam makanan dan minuman yang layak dikonsumsi memang tidak memiliki batasan yang baku, karena kebutuhan gula setiap individu berbeda-beda tergantung usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, dan kondisi kesehatan.

Namun ada beberapa pedoman yang bisa dijadikan acuan untuk menjaga asupan gula, antara lain seperti yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO.

Rekomendasinya, konsumsi gula tambahan sebaiknya dibatasi hingga kurang dari 10% dari total asupan energi harian. 

Untuk orang dewasa dengan kebutuhan energi 2000 kalori per hari, ini berarti kurang dari 50 gram atau sekitar 12 sendok teh gula tambahan per hari. 

WHO bahkan menyarankan untuk membatasi konsumsi gula hingga kurang dari 5% dari total asupan energi harian untuk manfaat kesehatan yang lebih baik.

Meskipun pedomannya ada, persoalannya kemudian, kita kadang enggan untuk repot-repot menghitung "rumus" di atas. Hal ini lah yang menimbulkan keraguan terkait efektifitas pelabelan tersebut.

Tetapi bukan berarti pelabelan, tak nerpotensi untuk mengubah pola konsumsi gula masyarakat. Hanya saja tantangannya adalah bagaimana membuat informasi ini mudah dipahami oleh semua orang. 

Label yang terlalu rumit atau membingungkan justru akan membuat konsumen kesulitan mengambil keputusan.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan produsen untuk bekerja sama menciptakan sistem pelabelan gula yang sederhana, jelas, dan mudah dipahami oleh semua kalangan.

Di luar masalah pelabelan, salah satu cara lain yang dianggap lebih efektif adalah dengan pemberlakuan cukai terhadap minuman berpemanis, yang rencananya akan mulai diberlakukan di Indonesia tahun 2024 ini

Menurut infornasi dari Kementerian Keuangan, Cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) telah masuk ke dalam Nota Keuangan untuk tahun 2024.

Cukai merupakan instrumen kebijakan fiskal yang memiliki fungsi strategis dalam pengendalian konsumsi barang-barang tertentu yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap kesehatan, lingkungan, atau ketertiban umum. 

Penerapan cukai didasarkan pada prinsip "sin taxes," yaitu pajak yang dikenakan pada barang-barang yang menimbulkan eksternalitas negatif.

Di beberapa negara yang telah lebih dahulu memberlakukan kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis terbukti efektif mengurangi konsumsi minuman berpemanis.

Studi di Meksiko (2017) menemukan penurunan 12% setelah satu tahun penerapan cukai 20%. Di Berkeley, California, cukai 1 sen per ons menurunkan konsumsi sebesar 21% dalam tiga tahun.

Contoh menarik lain, di Hungaria pemberlakuan cukai dilakukan secara simultan dengan penerapan kebijakan pelabelan  yang jelas serta edukasi  publik yang dilakukan secara masif tentang bahaya gula dan hasilnya sangat efektif menurunkan konsumsi gula tambahan secara signifikan.

Di Indonesia rencananya,menurut informasi dari Kemenkeu, tarif cukai yang akan dikenakan adalah Rp300 per gram gula berlaku untuk minuman dengan kandungan gula lebih dari 5 gram per 100 ml. 

Sayangnya hingga kini masih terjadi tarik ulur kapan waktu pastinya di tahun 2024 ini, cukai minuman berpemanis itu diberlakukan.

Kondisi ini bisa terjadi lantaran pemberlakuan cukai diperhitungkan akan berpengaruh terhadap harga jual minuman berpemanis,menjadi lebih mahal. Sesuatu yang dikhawatirkan oleh para produsen, penjualan menjadi lesu, sehingga produksi menurun, dan pada akhirnya perusahaan kesulitan keuangan dan bangkrut alhasil memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Selain itu, ada pemikiran, meskipun cukai dapat mengurangi konsumsi minuman berpemanis, tapi tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan beralih ke pilihan yang lebih sehat. Mereka mungkin beralih ke minuman lain yang tidak dikenai cukai atau bahkan ke produk yang lebih tidak sehat.

Kita tahu lah karakter masyarakat Indonesia, contohnya ketika cukai rokok dinaikan terus secara berkala sehingga harga jualnya naik sangat tinggi, mereka tak memilih untuk berhenti menghisap rokok, alih-alih beralih ke rokok-rokok berharga jual lebih rendah atau bahkan yang tanpa cukai sama sekali.

Oleh sebab itu, penting juga untuk diingat bahwa cukai bukanlah satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah konsumsi gula berlebih. Upaya pelabelan kandungan gula dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya gula dan pentingnya pola hidup sehat juga harus secara simultan dilakukan.

Nah, kembali keurusan pelabelan, saat ini Kementerian Kesehatan sedang menggodok mekanisme pelabelan yang lebih sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat, yakni dengan menggunakan warna atau color guide untuk kadar kandungan gula di makanan dan minuman kemasan.

"Jadi kita sudah meeting dengan BPOM sudah siap aturannya ya, kayak Singapura yang merah, kuning, hijau, merah-kuning-hijau itu, dan gede nulisnya," kata Menkes, Budi Gunadi Sadikin. Seperti dilansir CNNIndonesia.com. Selasa (09/07/2024).

So, dengan kebijakan simultan dan sinergis antara cukai dan pelabelan diharapkan dapat mengurangi konsumsi gula. 

Cukai meningkatkan harga minuman berpemanis, sementara pelabelan memberikan informasi yang dibutuhkan konsumen untuk membuat pilihan yang lebih sehat. 

Kombinasi kedua kebijakan ini telah terbukti efektif di beberapa negara dalam menurunkan konsumsi minuman berpemanis dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun