Tentunya kita sudah sangat akrab dengan tag line iklan salah satu merk minuman dalam kemasan berpemanis (MDKB) "apa pun makanannya, minumannya Teh Botol Sosro" atau slogan iklan minuman berkarbonasi yang suaranya diisi Cak Lontong  "nyatanya nyegerin"
Bagi penyukanya, promosi minuman berpemanis tersebut, akan menggugah rasa ingin menikmatinya, apalagi jika disajikan secara dingin di saat suhu udara sangat panas seperti belakangan dirasakan.
Cukup dengan merogoh kocek antara Rp.3.000 hingga Rp.10.000 per botol kita sudah bisa merasakan manis dan segarnya produk MKBD tersebut.
Harga yang cukup ekonomis, dan terjangkau oleh siapapun.Â
Namun, mulai tahun depan, para penyuka minuman berpemanis ini harus merogoh kocek lebih dalam untuk merasakan segarnya berbagai merk dari minuman berpemanis dan berkarbonasi tersebut.Â
Pasalnya, mulai tahun 2024 Pemerintah Cq Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan(Kemenkeu) akan mengenakan cukai terhadap minuman berpemanis dan berkarbonasi.
Mengutip keterangan dari Kemenkeu, beleid atau aturan tentang cukai minuman berpemanis tersebut kini sudah masuk dalam tahap finalisasi yang memungkinkan  tahun depan pungutan cukai bisa dilaksanakan.
"Kami sudah di tahap penyiapan regulasinya dan pemetaan seberapa besar dampaknya dan kami sedang mensimulasikan penerapannya seperti apa dan lingkupnya seperti apa," kata Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis, Direktorat Jenderal Bea Cukai Muhammad Aflah Farobi, seperti dilansir CNBCIndonesia.Com. Beberapa waktu lalu.
Cukai jenis baru setelah cukai hasil olahan tembakau dan minuman beralkohol ini dalam praktiknya tentu saja bakal menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, bahkan mungkin sebagian masyarakat dan industri terkait bakal ngedumelÂ
"apa-apa dipajaki atau dikenakan cukai, BU banget nih Pemerintah"
Wajar saja jika sebagian masyarakat terutama pihak industri nesu, lantaran pengenaaan cukai akan membawa konsekuensi kenaikan harga barang terkena cukai dan itu pastinya akan dibebankan kepada konsumen, dan penurunan penjualan.
Apakah benar Pemerintah se-desperate itu untuk mengais pendapatan Negara?
Agar sakwasangka itu terverifikasi benar atau tidaknya, mari kita coba pahami dulu apa itu cukai dan tujuan pengenaannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Karakteristik barang-barang yang terkena cukai itu adalah konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, Â karena pemakainnya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup. Atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keseimbangan dan keadilan.
Cukai bisa disebut sebagai salah satu bagian dari konsep ekonomi eksternalistas yang dikembangkan oleh ekonom asal Inggris Arthur Pigou pada tahun 1920-an.
Eksternalitas adalah efek samping dari suatu kegiatan ekonomi yang memengaruhi kesejahteraan pihak ketiga yang tak terlibat dalam kegiatan tersebut.
Eksternalitas memiliki dua sisi, positif dan negatif. Dalam konteks Cukai MDKB, Â yang terjadi adalah eksternalitas negatif karena menimbulkan biaya tambahan yang ditanggung oleh pihak ketiga tanpa mendapatkan kompensasi.
Pigou berpendapat bahwa eksternalitas negatif merupakan kegagalan pasar, dalam mengidentifikasi adanya biaya sosial dari suatu kegiatan ekonomi.
Untuk itu lah, kemudian muncul cukai rokok, minuman beralkohol, dan tahun depan cukai MDKB.
Sederhananya cukai bisa disebut sebagai pajak "keburukan." Karena berdampak buruk kepada masyarakat atau lingkungan hidup, maka untuk mendapatkannya akan dikenakan biaya lebih, agar konsumsinya bisa dikendalikan.
Pertanyaannya, memang apa buruknya minuman berpemanis sehingga diklasifikasikan sebagai bagian dari eksternalitas negatif yang perlu dikenakan cukai?
Menukil laporan yang dikeluarkan oleh Unicef, Bappenas RI, dan Kementerian Kesehatan yang dirilis tahun 2019.
Indonesia mengalami peningkatan beban penyakit tidak menular(PTM) dalam beberapa dekade terakhir.
Pada tahun 2018, PTM menyumbang 75 persen kematian akibat penyakit di Indonesia. Pada saat bersamaan di Indonesia mengalami peningkatan drastis kasus-kasus kelebihan berat badan dan obesitas yang merupakan faktor risiko utama PTM seperti Diabetes, penyakit jantung, stroke, hingga kanker.
Penyebab hal itu terjadi adalah perubahan pola makan yang ditandai dengan konsumsi makanan dan minuman yang tinggi gula, garam, dan lemak yang tidak sehar secara berlebihan.
Salah satu produknya itu adalah minuman berpemanis atau sugar-sweetened beverages, termasuk diantaranya, minuman ringan, minuman berenergi, jus dalam kemasan, teh dan kopi siap minum serta susu kemasan berbagai rasa dengan kadar gula sangat tinggi.
Dan menurut berbagai penelitian terbukti bahwa terlalu sering mengonsumsi minuman berpemanis apalagi pemanis buatan berisiko meningkatkan sejumlah penyakit seperti yang dipaparkan di atas
Sejalan dengan laporan ini, Organisasi Kesehatan Dunia WHO kemudian merekomendasikan menerapkan kebijakan fiskal terhadap minuman berpemanis, yang hingga kini sudah diimplementasikan di 85 negara di seluruh belahan dunia.
Menurut WHO, pajak atau cukai atas minuman berpemanis telah terbukti sebagai alat yang efektif dan efesien untuk meningkatkan kesehatan dan menyelematkan jiwa lewat pendekatan preventif, bukankah mencegah lebih mudah dan murah dibandingkan mengobati.
Di Indonesia sendiri, anjuran konsumsi gula harian terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan(Pemenkes) Nomor 30 tahun 2013. Anjuran gula per hari adalah 10 persen dari total kalori atau sekitar 200 kkal yang setara dengan 4 sendok makan pe hari per orang atau 50 gram per hari per orang.
Kendati demikian, bukan berarti Kemenkeu bakal mengenakan cukai secara serampangan, pokoknya sebesar-besarnya agar konsumsi gula masyarakat bisa dikendalikan.
Butuh perhitungan yang berkeadilan dan seimbang, lantaran pengenaan cukai akan berdampak pada penurunan penjualan, yang ujungnya berpotensi terjadinya PHK dan berkurangnya penerimaan pajak.
Apabila keseimbangannya dalam menentukan besaran cukai tidak diiperhitungkan dengan tepat maka dampak buruknya akan lebih terasa oleh masyarakat.
Lantas berapa kira-kira cukai minuman berpemanis yang akan dikenakan?
Menurut Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan tahun 2024, target penerimaan cukai minuman berpemanis diproyeksikan sebesar Rp.3,08 triliun.
Dengan rencana perincian tarif MDKB untuk minuman teh kemasan sebesar Rp.1.500 per liter, minuman berkarbonasi, minuman berenergi, kopi siap minum, dan minuman berpemanis lainnya dikenakan cukai sebesar Rp.2.500 per liter.
Angka cukai sebesar itu menurut Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, Adhi S. Lukman  akan memicu kenaikan harga jual yang sangat tinggi.
"Kan harga minuman itu satu liter itu sekitar Rp 3.000-4.000an per liter. Kalau Rp 1.500 atau Rp 2.000 itu 50% dari harga COGS (cost of goods sold) kita, lho. Itu mahal sekali. Mahal sekali," ujarnya seperti dilansir Detik.com. Beberapa waktu lalu.
Berarti harga produk minuman berpemanis berpotensi naik hingga 50 persen dibandingkan harga jualnya saat ini.
Hal tersebut pasti akan berdampak terhadap penjualan, yang hampir pasti akan turun tajam. Penjualan turun, volume produksi pun akan mengikuti menjadi lebih rendah, karena produksi turun penyerapan tenaga kerja pun akan dikoreksi menjadi lebih sedikit, PHK potensial terjadi, apalagi jika ditambah dengan penurunan penerimaan Pajak.
Oleh sebab itu penerapan cukai MDKB ini harus diperhitungkan dengan benar dan tepat, agar titik ekluibriumnya tercapai, kesehatan masyarakat terjaga, ekonomi pun masih bisa tetap bisa tumbuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H