Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) Â kini tengah dalam fase akhir untuk disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Salah satu hal yang baru dan menarik perhatian masyarakat dalam RUU KIA adalah aturan cuti bagi ibu hamil dan melahirkan.
Dalam RUU KIA diusulkan, bahwa wanita pekerja yang melahirkan bisa mendapat cuti 6 bulan lamanya, tanpa dikurangi haknya untuk menerima gaji pada tiga bulan pertama, dan 70 persen gaji pada tiga bulan sisanya
"RUU KIA juga mengatur cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Selain itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan,"ujar Ketua DPR Puan Maharani, seperti dilansir Kompas.com. Kamis (16/06/2022).
Dalam aturan lain yang saat ini berlaku, yakni Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 Â Tentang Tenaga Kerja masa cuti hamil bagi perempuan pekerja ditetapkan selama tiga bulan.
Nantinya, setelah RUU KIA disahkan, aturan Cuti hamil tersebut akan merujuk pada aturan baru tersebut.
Tujuan dari pengaturan ulang cuti hamil bagi para ibu bekerja tersebut untuk menjamin tumbuh kembang sang bayi dan pemulihan bagi ibu yang baru melahirkan.
Dasar pemikiran dari RUU KIA tersebut untuk memberi harapan lebih agar anak-anak mendapat jaminan proses tumbuh kembang yang optimal, mengingat 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) merupakan golden period, penentu masa depan anak.
Untuk itu lah negara hadir lewat RUU KIA ini agar nantinya  sang anak yang baru dilahirkan tersebut dapat menjadi generasi penerus yang mumpuni dan mampu membawa Bangsa Indonesia menjadi semakin hebat.
Sampai disini, Â kita akan memahami bahwa tujuan dari RUU KIA termasuk pengaturan ulang masa cuti hamil dan melahirkan itu sungguh sangat mulia.
Oke lah dalam prespektif kesehatan terutama untuk tumbuh kembang sang anak eksesnya akan sangat positif.
Namun demikian, kita juga harus memahami bahwa masalah cuti hamil ini tak berada di ruang hampa yang bergerak secara linier.
Apabila kita beranjak dari sisi kesehatan menuju sisi sosial dan ekonomi, pengaturan ulang cuti hamil menjadi 6 bulan ini sangat berpotensi menimbulkan masalah lain.
Masalah yang sangat mungkin timbul adalah bakal lebih menyempitnya kesempatan kerja bagi perempuan.
Kita semua tahu, relasi antara pemberi kerja dan pekerjanya tersebut bersifat simbiosis mutualisma, saling menguntungkan satu sama lain.
Pemberi kerja berharap pada produktivitas pekerja dalam membuat produk atau memberi layanan yang ujungnya bisa di-generate menjadi keuntungan bagi kelangsungan usahanya.
Sementara bagi pekerja, atas hasil kerjanya maka mereka akan mendapatkan upah atau gaji untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apabila kemudian salah satu pihak tersebut tak mampu memenuhi ekspektasi seperti yang diharapkan, secara alamiah akan terjadi pemutusan relasi simbiosis mutualisma tadi.
Either, pemberi kerja akan melakukan pemutusan hubungan kerja atau pekerja memilih untuk mundur dari perusahaan milik si pemberi kerja.
Nah, dalam konteks cuti ibu hamil 6 bulan tadi, artinya jika ditinjau dari sisi pemberi kerja jelas hal tersebut akan berdampak pada produktivitas si pekerja.
Apalagi dalam saat bersamaan si pemberi kerja harus tetap membayar gaji si pekerja yang tidak memberikan kontribusi bagi produktivitas perusahaannya.
Secara logika, jika kondisinya demikian, Â besar kemungkinan si pemberi kerja akan lebih memilih untuk memberi kesempatan kerja kepada pihak yang tak mungkin harus menggunakan cuti hamil.
Dan itu, adalah laki-laki.
Ketika si pemberi kerja lebih memilih pekerjanya adalah laki-laki, maka secara serta merta kesempatan kerja bagi perempuan akan menjadi jauh berkurang.
Mungkin uraian di atas terlalu "taken for granted," akh tak semua cara berpikir pemberi kerja seperti itu, bagi sebagian pemberi kerja, pekerja dianggap sebagai aset alih-alih beban perusahaan.
Menurut teori manajemen modern memang seharusnya seperti itu, salah satu karakteristik aset adalah dapat menghasilkan profit bagi perusahaan, dan pekerja atau karyawan adalah komponen penting bagi perusahaan dalam mencetak keuntungan, maka wajar jika disebut aset.
Jadi, memberi upah, tunjangan dan berbagai fasilitas lain termasuk cuti adalah investasi bukan menjadi beban.
Karena hal tersebut investasi, maka dampaknya tak akan dirasakan seketika. Dan fasilitas cuti hamil selama 6 bulan tadi mungkin saja hanya akan membuat yang bersangkutan produktivitasnya menurun selama cutinya berlangsung, tetapi selepas itu kembali akan produktif.
Itu pemikiran yang ideal, tetapi apakah kenyataan di lapangan akan se-ideal itu?
Sebuah teori yang melahirkan situasi ideal biasanya didasari oleh prasyarat dalam prespektif ideal pula.
Kemungkinan komplikasi masalah akibat pemberian cuti hamil 6 bulan tersebut sangat besar.
Sebaik dan seideal apapun pemberi kerja ujungnya yang mereka cari adalah profit juga, jika pekerjanya dianggap tak performed alias produktivitas rendah akan diganti dengan individu yang lebih produktif.
Apalagi kemudian selama cuti, mereka harus tetap digaji. Lain cerita kalau misalnya selama cuti pemberi kerja tak memiliki kewajiban untuk membayar upah pekerjanya atau upahnya dipotong sebagian.
Kenapa demikian, karena ketika salah satu pekerja cuti hamil apalagi dalam jangka waktu 6 bulan, beban kerja yang biasanya ia tanggung akan di handover kepada rekan kerjanya.
Saya pernah merasakan hal ini harus menanggung beban kerja rekan yang sedang cuti hamil, intensitas pekerjaan menjadi berlipat-lipat
Menjalaninya selama dua bulan saja sudah bikin semaput, pontang-panting enggak keruan, jam kerja menjadi panjang, kerjaan menjadi overload, akhirnya hasil kerjanya tak optimal, ujungnya saya lagi yang disalahin.
Dan ironisnya, tanpa insentif tambahan apapun.
Apalagi jika kemudian cutinya diperpanjang hingga 6 bulan, bakal seperti apa jadinya. Belum lagi jika rekan kerjanya tersebut perempuan juga yang memiliki anak balita yang masih butuh perhatian, biasanya pulang jam 17.00 karena harus menanggung pekerjaan rekan kerjanya yang sedang cuti hamil jadi pulang jam 20.00 misalnya.
Dengan kondisi tersebut berarti ia harus kehilangan quality time bersama anaknya seperti ia lakukan selama ini.
Nah, dengan pemotongan upah atau tanpa digaji, perusahaan tempat ia bekerja kan bisa mengalokasikannya untuk insentif kepada rekan kerja yang menanggung beban kerjanya selama cuti atau bisa digunakan perusahaan untuk merekrut pekerja temporer pengganti dirinya.
Jika solusi ini dianggap kurang propered dan urusan extended cuti hamil menjadi 6 bulan ini dianggap penting oleh masyarakat serta negara, kenapa tak menggunakan sistem burden sharing, negara dan pemberi kerja berbagai beban. Katakanlah pemberi kerja menanggung 60 persen sementara negara 40 persen atau bisa saja fifty-fifty.Â
Atau jika burden sharing ini dianggap tak berkeadilan karena negara ikut menanggung tapi yang ditanggung hanya pekerja formal, sementara para pekerja sektor informal tidak.
Mungkin ada baiknya cuti yang dibayar atau  paid leave dan parental leave ini dilakukan dengan melibatkan BPJS  Ketenagakerjaan. Bikin aturan baru terkait program paid leave dan parental leave.
Siapkan sumber pendanaannya apakah ditanggung sepenuhnya oleh pemberi kerja, atau ada subsidi dari negara dengan begitu aspek asuransi sosial dan pembagian risikonya menjadi jelas, sehingga tak ada yang dirugikan.
Tak akan mudah bagi siapapun untuk menjalani aturan cuti melahirkan 6 bulan, bagi perempuan ada potensi pasar kerjanya bakal menyempit, bagi para pemberi kerja bakal menjadi beban tambahan dan bagi rekan kerjanya akan membuat hidupnya tidak indah lagi karena beban kerja yang berlipat-lipat.
Mungkin ada baiknya RUU KIA terutama terkait cuti melahirkan 6 bulan ini di kalkulasi ulang, siapkan dulu prasyaratnya agar ketika diundangkan tak menjadi polemik yang tak berkesudahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H