Dan itu, adalah laki-laki.
Ketika si pemberi kerja lebih memilih pekerjanya adalah laki-laki, maka secara serta merta kesempatan kerja bagi perempuan akan menjadi jauh berkurang.
Mungkin uraian di atas terlalu "taken for granted," akh tak semua cara berpikir pemberi kerja seperti itu, bagi sebagian pemberi kerja, pekerja dianggap sebagai aset alih-alih beban perusahaan.
Menurut teori manajemen modern memang seharusnya seperti itu, salah satu karakteristik aset adalah dapat menghasilkan profit bagi perusahaan, dan pekerja atau karyawan adalah komponen penting bagi perusahaan dalam mencetak keuntungan, maka wajar jika disebut aset.
Jadi, memberi upah, tunjangan dan berbagai fasilitas lain termasuk cuti adalah investasi bukan menjadi beban.
Karena hal tersebut investasi, maka dampaknya tak akan dirasakan seketika. Dan fasilitas cuti hamil selama 6 bulan tadi mungkin saja hanya akan membuat yang bersangkutan produktivitasnya menurun selama cutinya berlangsung, tetapi selepas itu kembali akan produktif.
Itu pemikiran yang ideal, tetapi apakah kenyataan di lapangan akan se-ideal itu?
Sebuah teori yang melahirkan situasi ideal biasanya didasari oleh prasyarat dalam prespektif ideal pula.
Kemungkinan komplikasi masalah akibat pemberian cuti hamil 6 bulan tersebut sangat besar.
Sebaik dan seideal apapun pemberi kerja ujungnya yang mereka cari adalah profit juga, jika pekerjanya dianggap tak performed alias produktivitas rendah akan diganti dengan individu yang lebih produktif.
Apalagi kemudian selama cuti, mereka harus tetap digaji. Lain cerita kalau misalnya selama cuti pemberi kerja tak memiliki kewajiban untuk membayar upah pekerjanya atau upahnya dipotong sebagian.