Namun demikian, kita juga harus memahami bahwa masalah cuti hamil ini tak berada di ruang hampa yang bergerak secara linier.
Apabila kita beranjak dari sisi kesehatan menuju sisi sosial dan ekonomi, pengaturan ulang cuti hamil menjadi 6 bulan ini sangat berpotensi menimbulkan masalah lain.
Masalah yang sangat mungkin timbul adalah bakal lebih menyempitnya kesempatan kerja bagi perempuan.
Kita semua tahu, relasi antara pemberi kerja dan pekerjanya tersebut bersifat simbiosis mutualisma, saling menguntungkan satu sama lain.
Pemberi kerja berharap pada produktivitas pekerja dalam membuat produk atau memberi layanan yang ujungnya bisa di-generate menjadi keuntungan bagi kelangsungan usahanya.
Sementara bagi pekerja, atas hasil kerjanya maka mereka akan mendapatkan upah atau gaji untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Apabila kemudian salah satu pihak tersebut tak mampu memenuhi ekspektasi seperti yang diharapkan, secara alamiah akan terjadi pemutusan relasi simbiosis mutualisma tadi.
Either, pemberi kerja akan melakukan pemutusan hubungan kerja atau pekerja memilih untuk mundur dari perusahaan milik si pemberi kerja.
Nah, dalam konteks cuti ibu hamil 6 bulan tadi, artinya jika ditinjau dari sisi pemberi kerja jelas hal tersebut akan berdampak pada produktivitas si pekerja.
Apalagi dalam saat bersamaan si pemberi kerja harus tetap membayar gaji si pekerja yang tidak memberikan kontribusi bagi produktivitas perusahaannya.
Secara logika, jika kondisinya demikian, Â besar kemungkinan si pemberi kerja akan lebih memilih untuk memberi kesempatan kerja kepada pihak yang tak mungkin harus menggunakan cuti hamil.