Sebagai masyarakat awam, sebagian besar dari kita mungkin masih belum mengetahui bahwa Pajak dan Bea serta Cukai adalah 3 entitas berbeda.
Meskipun dalam benak kita semua, ketiga istilah tersebut sudah sangat familiar bahkan sebagian besar dari kita kerap menjadi bagian dari praktik pungutan pajak, bea dan cukai tersebut.
Dalam pelaksanaannya ketiga jenis pungutan tersebut memiliki karakteristik dan secara praksis pun berbeda-beda, meski memiliki kesamaan.
Kesamaannya antara lain, ketiga hal tersebut adalah jenis pungutan yang merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai bergulirnya roda Pemerintahan, mulai dari membayar gaji para pegawai negeri, subsidi bagi masyarakat yang membutuhkan, hingga untuk membangun infrastruktur.
Dan satu lagi, ketiganya bisa menjadi instrumen pengendali manajemen keuangan pemerintahan apabila hal tersebut dibutuhkan.
Pengertian Pajak menurut Undang-Undang nomor 16 tahun 2009 adalah:
"Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat timbal balik secara  langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Dalam bahasa sederhananya, pajak merupakan pungutan wajib dari rakyat untuk negara yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
Pada praktiknya, perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment, yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak terutang setiap tahunnya sesuai aturan perpajakan yang telah ditetapkan.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, sesuai dengan fungsinya hanya berkewajiban menerbitkan regulasi, melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan.
Jadi pada dasarnya Pajak memiliki karateristik sebagai berikut:
Pertama, pajak adalah kontribusi wajib pajak pada negara; kedua, tidak ada imbalan langsung; ketiga, bersifat memaksa; keempat, diatur dalam undang-undang.
Beralih pada pengertian Bea Cukai, sebenarnya kedua kata tersebut bukanlah suatu frasa yang bermakna tunggal, masing-masing memiliki makna yang berbeda. Istilah "bea cukai" digunakan untuk mempermudah penyebutannya saja.
Bea adalah pungutan yang dikenakan terhadap komoditas barang yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor. Bea memiliki karateristik khusus untuk barang apa saja yang terkena pungutan sesuai aturan yang berlaku.
Terdapat dua jenis bea, yakni bea masuk (impor) dan bea keluar (ekspor). Besaran tarifnya akan disesuaikan berdasarkan jenis barang dan model seperti yang diatur dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 Tentang Kepabeanan.
Nah, lantas apa pula cukai?Â
Cukai seperti halnya pajak dan bea  merupakan pungutan resmi yang dilakukan dan dikelola oleh negara yang dibebankan kepada komoditas barang tertentu dengan sifat dan karakteristik khusus seperti yang diatur dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai.
Karakteristik khusus yang dimaksud untuk barang yang terkena cukai adalah sifat barang yang pemakaiannya dianggap potensial menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat umum.
Oleh sebab itu, selain untuk menjadi sumber pendapatan negara, cukai juga menjadi tool untuk membatasi, mengendalikan, dan mengawasi peredarannya.
Contoh yang cukup populer dalam pelaksanaan pungutan cukai adalah cukai terhadap produk tembakau dan minuman beralkohol.
Perbedaan, Pajak, Bea, dan Cukai.
Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, sebagai sesama instrumen pungutan yang resmi dikenakan oleh pemerintah, pajak, bea, dan cukai memiliki keterkaitan meskipun secara signifikan ketiganya memiliki perbedaan. Â Perbedaan tersebut diantaranya:
Pertama, Sifat Pungutan
Pajak sesuai karakteristiknya seperti yang saya ulas diatas, sifatnya memaksa. Karenanya, suka tak suka sebagai warga negara, orang pribadi atau badan yang menjadi wajib pajak harus membayar pajak.
Dan dipastikan tak akan mendapatkan balas jasa langsung kepada individu yang bersangkutan karena sudah membayar pajak.
Balasan yang akan negara berikan kepada para pembayar pajak bukan berdasarkan orang per orang atau entitas tertentu melainkan secara umum kepada seluruh rakyat Indonesia, melalui pembangunan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan, sarana pendidikan dan kesehatan serta membayar ongkos pengelolaan negara, misalnya untuk gaji Apatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri.
Berbeda dengan pajak, sifat dari kedua pungutan ini sesuai kebijakan. Untuk Bea, hanya akan dikenakan pada mereka yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor dan impor saja.
Bagi masyarakat yang tak melakukan kegiatan tersebut, tak akan terkena kewajiban untuk membayar bea.
Pun demikian dengan Cukai, Subjek pemungutannya hanya terbatas pada pihak-pihak tertentu saja, yakni mereka yang memproduksi dan mengkonsumsi barang-barang yang terkena cukai saja, seperti konsumen rokok, minuman beralkohol dan beberapa komoditas kena cukai lainnya.
Kedua, Lembaga Pemungut dan Pengelolanya.
Sejatinya, ketiga pungutan tersebut adalah sumber pendapatan negara. Tetapi pos-posnya dalam sistem keuangan negara berbeda, makanya kemudian lembaga pelaksana pemungut dan pengelolaanya pun berlainan.
Dalam hal pemungutan dan pengelolaan pajak, kewenangannya dibagi kepada dua golongan, Pemerintah Pusat melalui DJP Kemenkeu dan Pemerintah Daerah lewat Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda).
Jenis pajak yang kewenangan pemungutannya ada di DJP Kemenkeu adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM).
Sementara untuk Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak Restoran dan beberapa pajak lainnya, kewenangan pemungutan dan pengelolaanya ada di tangan Dispenda di masing-masing Pemerintah Daerah.
Berbeda dengan Bea dan Cukai, seluruh kewenangan pemungutan dan pengelolaan hasilnya tersentralilasi di Pemerintah Pusat melalui tangan Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan.
Meskipun, jika kita perhatikan hampir di setiap wilayah di Indonesia terdapat Kantor Bea dan Cukai, tapi dana hasil pungutan dan pengelolaannya tetap disetorkan ke Pemerintah Pusat, tak ke Pemerintah Daerah tempat Kantor Bea Cukai itu berada.
Ketiga, Perhitungan tarif.
Seperti kita tahu, meskipun standar besaran pajak telah diatur sesuai undang-undang perpajakan, tetapi untuk perhitungan tarif pajak dan penyusunan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak orang pribadi atau badan dilakukan oleh masing-masing wajib pajak yang bersangkutan.
Setiap wajib pajak berkewajiban melaporkan penghasilan atau harta kekayaan yang menjadi objek pajak melalui sistem self assesment.
Berbeda dengan bea atau cukai, seluruh perhitungan tarif yang harus dibayarkan orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan ekspor atau impor akan dilakukan oleh pemerintah.
Jadi, Importir atau Eksportir membuat dokumen pemberitahuan yang formatnya sudah ditetapkan untuk kemudian dikirimkan kepada pihak Bea dan Cukai.
Dokumen yang biasanya disebut Pemberitahuan Impor/Ekspor Barang kemudian akan diverifikasi oleh Kantor Bea dan Cukai, untuk dihitung berapa total tarif Bea yang harus dibayarkan pihak eksportir atau importir tersebut.
Apabila Bea yang telah ditentukan tersebut telah dibayarkan, maka barang tersebut bisa diambil oleh importir yang bersangkutan atau segera dikapalkan apabila barang tersebut akan di ekspor.
Seperti halnya urusan Bea, untuk Cukai pun besaran perhitungan tarif yang harus dibayarkan pun dihitung oleh Pemerintah. Cukai memang dibayarkan oleh konsumen yang mengkonsumsi atau memanfaatkan barang objek cukai tersebut.
Hanya saja, pembayaran cukainya ditalangi terlebih dahulu oleh perusahaan produsen barang objek cukai bersangkutan.
Nah, biaya talangan pembayaran cukai tadi, akan dimasukan oleh produsen sebagai salah satu komponen harga jual barang tersebut.
Sebagai gambaran, cukai untuk produk rokok. Perusahaan Rokok akan membayar terlebih dahulu cukainya melalui pembelian pita cukai rokok yang kemudian ditempelkan pada kemasan rokok tersebut.
Angka yang tertera dalam pita itulah yang nantinya akan dibayarkan oleh konsumen yang mengonsumsi rokok tersebut, termasuk dana talangan pembayaran cukai tadi.
Keempat, Jatuh Tempo Pembayaran.
Mungkin kita ingat bahwa setiap memasuki bulan Maret akan disibukan untuk mengisi SPT pajak, karena jatuh tempo pembayaran pajak sudah menjelang, yakni pada bulan April setiap tahunnya.
Karena perhitungan pembayaran pajak itu, jatuh temponya dihitung pada tahun fiskal.
Tahun fiskal, ini adalah kurun waktu selama dua belas bulan berturut-turut yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan dan penutupan buku suatu badan usaha. Awal dan akhir tahun fiskal sangat bisa tak sama dengan tahun kalender.
Untuk urusan pajak biasanya tahun fiskal itu akan bermula pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret setiap tahunnya.
Sedangkan untuk Bea atau Cukai, jatuh tempo pembayaran kewajibannya tersebut tak berdasarkan tahun fiskal, tetapi disesuaikan dengan pemakaiannya.
Untuk Bea, ya sesuaikan saja dengan kegiatan impor atau ekspor dilakukan. Selama kewajiban tersebut belum tertunaikan maka izin impor atau ekspornya akan tertunda juga.
Pun demikian dengan cukai, konsumen dapat menikmati barang yang merupakan objek cukai tersebut apabila sudah membayar cukainya.
Well terlepas dari semua hal tersebut, harapannya pendapatan negara yang bersumber dari pajak, bea dan cukai itu dapat dikelola dengan baik oleh para pemangku kepentingannya, yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H