Dia memulai bisnis Revlon dengan menjual produk perawatan kuku dengan modal sendiri yang hanya sebesar US$ 30 saja.
Kemudian, setelah beberapa tahun berjalan perusahaan yang awalnya bernama The Revson Nail Enamel Company ini mencoba peruntungan dengan membuat produk lipstik bersama rekan bisnisnya Charles Lachman.
Dan Lachman ini lah yang kemudian memberi nama Revlon dalam setiap produk mereka yang selanjutnya menjadi merk dagang paling top di industri kosmetik dunia.
Promosi mereka saat itu dengan mengaitkan produk mereka dengan para selebritis dunia yang sedang hype.
Iklan-iklan mereka dipromosikan secara agresif sehingga pada tahun 1940 penjualan Revlon meroket tajam mencapai US$ 2,8 juta.
Promosi gencar kian dilakukan dengan inovasi iklan yang inovatif bahkan dianggap sebagai trendsetter saat itu.
Paling fenomenal adalah saat Revlon melakukan kampanye besar-besaran produknya  dengan tagline "Fire and Ice" yang dianggap titik balik sejarah periklanan kosmetik pada tahun 1956.
Selepas itu, Revlon tak tertahankan. Merk ini menguasai pasar kosmetik dunia khususnya untuk pemulas bibir dan cat kuku.
Sayangnya nama besar Revlon, sepertinya bakal segera berakhir, sahamnya yang dijual di New York Stock Exchange terjun bebas secara berkelanjutan hingga US$ 1,88 per lembar hari Kamis (16/06/22) kemarin.
Kondisi ini didorong oleh laporan keuangan Revlon terus menunjukan pemburukan. Mengutip data dari situs Investing.com, menurut Laporan Keuangan 31 Maret 2022, mereka mengalami kerugian sebesar US 67 juta.
Sementara ekuitasnya minus US$ 2,07 miliar sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi atau liabilitasnya mencapai US$ 4,4 miliar.