Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Revlon Bangkrut, Produknya Bakal Menghilang?

17 Juni 2022   08:20 Diperbarui: 17 Juni 2022   11:51 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.revlon.com/

Mungkin hanya sedikit wanita di dunia yang tak mengenal merk kosmetik "Revlon."  Revlon telah membuat senyum para wanita bertambah indah dengan balutan pewarna bibir yang merah merona hingga warna lembut yang tetap menggoda.

Selain itu, Revlon merupakan pioneer dalam industri cat kuku untuk mempercantik lentiknya jari para wanita.

Salah satu merk cat kuku besutannya yang bernama Cutex, membuat nama Revlon kian melambung.

Bahkan di Indonesia, cutex atau kutek dipersonifikasi menjadi sebutan semua jenis cat kuku, apapun merknya pasti di sebut kutek.

Sayangnya, merk kosmetik top dunia yang sudah berusia 90 tahun ini, kini terancam tak eksis lagi, kondisi perusahaan tengah di ujung tanduk dan sangat berpotensi bangkrut.

Revlon Inc induk usaha perusahaan kosmetik yang berkantor pusat di New York Amerika Serikat tersebut kini tengah mengajukan kebangkrutan dengan menggunakan  Chapter 11 Undang -Undang Kepailitan ke pengadilan niaga Amerika Serikat sebagai dampak dari ketidakmampuan mengelola beban utangnya yang cukup berat setelah gagal berjuang menghadapi tekanan industri kosmetik dunia yang kian kompetetif akibat bermunculan merk kosmetik baru yang dijual secara online dan maraknya influencer di media sosial.

Melansir situs berita bisnis Bloomberg .com, perusahaan kosmetik milik  Ron Perelman's, Mac Andrew & Forbes ini mencari perlindungan Pengadilan Distrik New York Selatan, Rabu (15/0622) setelah krisis rantai pasokan global dan  gejolak inflasi yang naik tajam pasca pandemi Covid-19 memperparah turunnya volume penjualan mereka sehingga kondisi keuangan perusahaan terus memburuk.

Sebagai tambahan informasi, Chapter 11 Bankruptcy adalah salah satu bab dalam Undang-Undang Kepailitan di Amerika Serikat yang memberikan perlindungan bagi perusahaan yang memiliki utang di atas US$ 1,06 juta dan mereka sudah merasa tak mampu lagi untuk membayarnya.

Revlon, kalah bersaing dengan nama besar di industri kosmetik dunia seperti L'Oreal dan Estee Lauder apalagi kemudian muncul pesaing-pesaing baru dari merk-merk yang diusung oleh beberapa selebritis terkenal dunia macam Kyle Cosmetic milik Kyle Jenner dan Fanty Beauty yang digagas oleh penyanyi top dunia Rihanna.

Belum lagi, di Asia yang merupakan pasar penting industri kosmetik dunia. Revlon dihantam oleh maraknya produk-produk kosmetik asal Korea Selatan yang di-endorse oleh sejumlah artis K-Pop yang tengah dalam puncak kejayaannya.

Bayangkan Revlon dengan nama yang begitu besar disertai jejak sejarah  sangat panjang selama 90 tahun, dan sempat menguasai pasar kosmetik dunia, paling tidak untuk jenis lipstik dan cat kuku harus bertekuk lutut pada jaman.

Sebenarnya bukan hanya Revlon, pemain besar dalam industrinya yang harus kehilangan marwahnya karena kegagalan mereka mengantisipasi perubahan bisnis yang dinamis.

Nokia, penguasa telepon selular asal Finlandia tumbang setelah tak mampu mengantisipasi pergerakan di industri teknologi digital yang sangat cepat.

Kemudian ada nama Kodak, raksasa industri fotografi asal AS, yang perusahaannya harus berakhir karena tak mampu menghadapi digitalisasi di industrinya.

Namun tak perlu heran juga, perusahaan sebesar Revlon dan beberapa nama perusahaan yang "pernah"hebat tadi dengan segala pencapaiannya harus hancur akibat ketidakmampuan mereka beradapatasi dengan model bisnis kekinian yang disruptif

Kondisi ini sudah diramalkan oleh Profesor Bisnis Harvard Business School AS, Clayton M Christensen dalam bukunya yang cukup terkenal bertajuk "Disruptive Innovation" yang dirilis pada tahun 1997.

Menurut Christensen, sebenarnya perubahan model bisnis tersebut dimulai dari hal paling kecil yang terus bereskalasi dalam kurun waktu panjang namun alpa diantisipasi oleh mereka yang besar tadi.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan besar yang berada dalam zona nyaman penguasaan pasar, harus berujung kebangkrutan.

Revlon sendiri sebenarnya lahir dari situasi serupa, seperti yang saya kutip dari sejumlah sumber referensi.

Charles Revson sang pendiri Revlon, pada awalnya di tahun 1932 mendisrupsi dua pelopor bisnis kosmetika modern saat itu, Helena Rubenstein dan Elizabeth Arden.

Revlon dengan inovasi produk dan kemampuannya menekan ongkos produksi dan harga jual serta kecanggihan dalam memasarkannya berhasil menaklukan kedua nama besar industri kosmetik tadi.

Dalam hal memasarkan, Revson menjual mitos kecantikan perempuan begitu rupa sehingga mereka tertarik untuk membeli produknya.

Dia memulai bisnis Revlon dengan menjual produk perawatan kuku dengan modal sendiri yang hanya sebesar US$ 30 saja.

Kemudian, setelah beberapa tahun berjalan perusahaan yang awalnya bernama The Revson Nail Enamel Company ini mencoba peruntungan dengan membuat produk lipstik bersama rekan bisnisnya Charles Lachman.

Dan Lachman ini lah yang kemudian memberi nama Revlon dalam setiap produk mereka yang selanjutnya menjadi merk dagang paling top di industri kosmetik dunia.

Promosi mereka saat itu dengan mengaitkan produk mereka dengan para selebritis dunia yang sedang hype.

Iklan-iklan mereka dipromosikan secara agresif sehingga pada tahun 1940 penjualan Revlon meroket tajam mencapai US$ 2,8 juta.

Promosi gencar kian dilakukan dengan inovasi iklan yang inovatif bahkan dianggap sebagai trendsetter saat itu.

Paling fenomenal adalah saat Revlon melakukan kampanye besar-besaran produknya  dengan tagline "Fire and Ice" yang dianggap titik balik sejarah periklanan kosmetik pada tahun 1956.

Selepas itu, Revlon tak tertahankan. Merk ini menguasai pasar kosmetik dunia khususnya untuk pemulas bibir dan cat kuku.

Sayangnya nama besar Revlon, sepertinya bakal segera berakhir, sahamnya yang dijual di New York Stock Exchange terjun bebas secara berkelanjutan hingga US$ 1,88 per lembar hari Kamis (16/06/22) kemarin.

Kondisi ini didorong oleh laporan keuangan Revlon terus menunjukan pemburukan. Mengutip data dari situs Investing.com, menurut Laporan Keuangan 31 Maret 2022, mereka mengalami kerugian sebesar US 67 juta.

Sementara ekuitasnya minus US$ 2,07 miliar sedangkan kewajiban yang harus dipenuhi atau liabilitasnya mencapai US$ 4,4 miliar.

Apalagi kemudian penjualan mereka di tahun berjalan terus menurun tajam. Dengan kondisi ini tak heran jika kemudian Revlon berlindung dalam Undang-Undang Kepailitan Chapter 11.

So, siap-siap saja dunia kembali akan kehilangan merk besar untuk kesekian kalinya, Lipstik Revlon yang merah menyala tanpa meninggalkan noda bakal menjadi tinggal kenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun