Sebenarnya bukan hanya Revlon, pemain besar dalam industrinya yang harus kehilangan marwahnya karena kegagalan mereka mengantisipasi perubahan bisnis yang dinamis.
Nokia, penguasa telepon selular asal Finlandia tumbang setelah tak mampu mengantisipasi pergerakan di industri teknologi digital yang sangat cepat.
Kemudian ada nama Kodak, raksasa industri fotografi asal AS, yang perusahaannya harus berakhir karena tak mampu menghadapi digitalisasi di industrinya.
Namun tak perlu heran juga, perusahaan sebesar Revlon dan beberapa nama perusahaan yang "pernah"hebat tadi dengan segala pencapaiannya harus hancur akibat ketidakmampuan mereka beradapatasi dengan model bisnis kekinian yang disruptif
Kondisi ini sudah diramalkan oleh Profesor Bisnis Harvard Business School AS, Clayton M Christensen dalam bukunya yang cukup terkenal bertajuk "Disruptive Innovation" yang dirilis pada tahun 1997.
Menurut Christensen, sebenarnya perubahan model bisnis tersebut dimulai dari hal paling kecil yang terus bereskalasi dalam kurun waktu panjang namun alpa diantisipasi oleh mereka yang besar tadi.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan besar yang berada dalam zona nyaman penguasaan pasar, harus berujung kebangkrutan.
Revlon sendiri sebenarnya lahir dari situasi serupa, seperti yang saya kutip dari sejumlah sumber referensi.
Charles Revson sang pendiri Revlon, pada awalnya di tahun 1932 mendisrupsi dua pelopor bisnis kosmetika modern saat itu, Helena Rubenstein dan Elizabeth Arden.
Revlon dengan inovasi produk dan kemampuannya menekan ongkos produksi dan harga jual serta kecanggihan dalam memasarkannya berhasil menaklukan kedua nama besar industri kosmetik tadi.
Dalam hal memasarkan, Revson menjual mitos kecantikan perempuan begitu rupa sehingga mereka tertarik untuk membeli produknya.