Posisi Merpati dalam dunia aviasi nasional mulai mengalami penurunan, mereka keteteran harus bersaing dengan perusahaan penerbangan swasta yang lebih efesien.
Alhasil, turbulensi keuangan dan manajerial mulai melanda maskapai yang memiliki tagline "Jembatan Udara Nusantara" ini. Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh Pemerintah, untuk menahan turbulensi yang melanda Merpati agar tak berujung crash dan perusahaan terpaksa harus ditutup.
Salah satunya melalui program revitalisasi dan melakukan modernisasi armada secara parsial. Tetapi ya itu tadi berbagai program restrukturisasi  yang secara manajerial memungkinkan untuk dilakukan tak jua mampu mengungkit kinerja Merpati, mereka seolah seperti pesawat dalam kondisi nose dive.
Meluncur terus mendekati tanah tanpa bisa dikendalikan. Hingga akhirnya karena kerugiannya sudah terlalu besar untuk ditanggung akibat buruknya tata kelola perusahaan, operasional Merpati Nusantara Airlines dihentikan dengan kondisi sangat merana.
Tercatat dalam laporan keuangannya, Merpati harus menanggung utang kepada berbagai kriditur sebesar Rp. 10,72 triliun. Merpati juga menunggak pesangon mantan karyawannya hingga mencapai Rp. 365 miliar.
Persoalan keuangan tersebut terus berlaut-larut hingga beberapa tahun kemudian. Angin segar bagi Merpati sempat berhembus pada tahun 2018 saat PT. Intra Asia Corpora  menandatangani kontrak kerjasama dengan nilai Rp. 6,4 triliun sebagai investor dengan di support beberapa perusahaan BUMN untuk menyelamatkan Merpati.
Bahkan timeline Merpati akan terbang kembali sudah tersusun rapih, rencananya pada tahun 2020 mereka akan kembali mengudara dengan menggunakan pesawat buatan Rusia MC-21.
Tunggu punya tunggu, ternyata calon investor tersebut tak juga menyetorkan dananya, hingga akhirnya Pengadilan harus mempailitkan Perusahaan milik Negara tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H