Seiring pertumbuhannya, Merpati memandang perlu untuk menambah jumlah armadanya dengan tambahan tiga unit pesawat jenis Dornier DO-28 dan enam Pilatus PC -6.
Tambahan pesawat itu diperlukan selain kebutuhan ekspansi juga untuk mengganti beberapa pesawat yang sudah tak laik terbang, sehingga armada pesawat Merpati pada akhir 1965 mencapai 15 armada yang efektif menerbangi puluhan rute penerbangan dengan karyawan lebih dari 500 orang.
Meskipun sebenarnya saat itu, Merpati belum sepenuhnya komersial karena seperti desain awalnya adalah untuk mengemban misi dan tugas dari pemerintah.
Dengan demikian biaya operasional hampir seluruhnya berasal dari subsidi yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia saat itu.
Namun masa ini kemudian berakhir pada tahun 1966 sesaat sebelum Orde Lama tumbang dan melahirkan Orde baru.Â
Merpati Mulai mengkomesialisasikan dirinya, dengan kembali membeli beberapa jenis pesawat serta mendapatkan sumbangan tiga unit pesawat jenis Twin Otter dari PBB.
Dari sini Pemerintah mulai melihat bahwa Merpati bisa menjadi perusahaan penerbangan mandiri yang sepenuhnya komersial meskipun tetap menerbangi rute-rute perintis. Makanya kemudian pemerintah mulai mengurangi subsidi kepada Merpati.
Namun ternyata pengurangan subsidi tersebut membuat keuangan Merpati sempat oleng, karena penerbangan komersial yang mereka jalankan ternyata belum sepenuhnya ajeg.
Alhasil Pemerintah kembali memberi subsidi tambahan bagi Merpati, selain memberikan konsensi untuk ambil bagian dalam rute penerbangan jarak jauh ke luar negeri.
Untuk mendukung operasinya, Merpati menambah tujuh unit pesawat Dakota DC-3 yang dibeli dari Australia dan Garuda. Langkah ini kemudian menjadi upaya awal yang membawa Merpati meluaskan cakrawalanya.
Pada tahun 1974, Merpati telah menerbangi 175 rute  dari ujung barat Indonesia hingga di ujung paling timur dari awalnya hanya 5 rute penerbangan saja,