Akibatnya pola pengendalian perilaku narapidana dalam penjara menjadi kurang tegas. Lantaran jika Kalapas bersikap tegas dan represif, ada ketakutan potensi konflik akan membesar.
Alhasil petugas lapas mencoba melakukan pendekatan informal dalam mengawasi dan mengendalikan narapidana.
Caranya, narapidan tertentu yang dianggap memiliki pengaruh dijadikan sebagai kepala blok, kepala kamar, atau pemuka dan tahanan pendamping atau tamping untuk mengendalikan narapidana lain.
Untuk menjadi pemuka dan tamping ini tentu saja ada kriteria tertentu termasuk di dalamnya ada isu harus "membayar" biaya tertentu pada petugas.
Nah, relasi-relasi informal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berbagai penyimpangan yang terjadi di Lapas.
Makanya tak heran jika di Lapas banyak terjadi transaksi-transaksi ilegal termasuk di dalamnya penjualan narkoba, masuknya barang-barang yang tak seharusnya ada seperti ponsel misalnya.
Kondisi overcrowded ini pula dianggap menjadi faktor yang menyulitkan apabila terjadi bencana seperti gempa bumi atau kebakaran seperti yang terjadi di Lapas Kelas I Tangerang kemarin.
Untuk hal ini juga berkaitan dengan faktor ketiga, yakni masalah kekurangan anggaran dan sumber daya manusia.
Untuk memiliki sistem mitigasi bencana  dan early warning system yang mumpuni itu membutuhkan anggaran yang tidak kecil.
Tak hanya untuk procurement barang fisiknya seperti alat pemadam kebakaran portabel tetapi juga pelatihan-pelatihan yang secara berkala seharusnya dilakukan kepada petugas.
Untuk anggaran di penjara sebenarnya ada standar minimal yang diatur secara internasional yang diadopsi oleh Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1955 melalui Resolusi tahun 1957.