Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Tragedi Lapas Tangerang, Over Kapasitas, dan Perlunya Perubahan Paradigma Pemidanaan di Indonesia

9 September 2021   12:23 Diperbarui: 10 September 2021   07:16 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Blok C2 pascakebakaran di Lapas Dewasa Kelas 1 Tangerang, Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021). (ANTARA FOTO/HANDOUT/STR via kompas.com)

Tewasnya 40 orang terpidana narkoba dan 1 terpidana teroris dalam kebakaran Blok C salah satu bagian di Lapas Kelas I Tangerang adalah sebuah tragedi sekaligus potret buram yang menahun dalam sistem pemenjaraan di Indonesia.

Bayangkan mereka terpanggang hingga tewas dalam kondisi terkunci dalam sel yang mereka tempati tanpa memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Ada sejumlah faktor yang harus disorot dan menjadi pelajaran mahal dari kejadian tersebut. 

Pertama masalah manajemen risiko dalam pengelolaan penjara termasuk di dalamnya early warning sistem dan mitigasi kebencanaan.

Kedua, masalah hulunya yaitu sistem pemidanaan yang ada dalam hukum di Indonesia yang "penjara sentrik". Segala urusan hukum pidana di Indonesia ujungnya hanya pemenjaraan, sehingga masalah over kapasitas penjara seolah tak kunjung bisa diselesaikan.

Ketiga, masalah anggaran dan sumber daya manusia yang menjaga dan mengawasi penjara di Indonesia sangat jomplang dengan jumlah narapidana yang ada.

Faktor pertama terkait manajemen risiko, khususnya dalam menghadapi kemungkinan bencana, itu benar-benar harus diperhatikan bagaimana sistem mitigasi jika bencana terjadi, audit mengenai hal ini harus sesegara mungkin dilakukan, agar tragedi Lapas Kelas I Tangerang tak terjadi lagi.

Seperti kita baca dalam berbagai berita terkait peristiwa yang mengerikan di Lapas Tangerang tersebut, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan bahwa salah satu faktor yang menjadi masalah dalam penjara Indonesia adalah Over Capacity alias kelebihan kapasitas penghuni penjara.

Saat kebakaran terjadi di Lapas Tangerang kapasitas penjara tersebut kelebihan kapasitas penghuni sebesar 400 persen.

Lapas Kelas I Tangerang sebenarnya memiliki kapasitas 600 narapidana, faktanya hingga tragedi itu berlangsung dihuni oleh 2000 lebih narapidana.

Di Blok C sendiri tempat kebakaran itu terjadi dihuni oleh 122 narapidana padahal kapasitasnya hanya untuk 40 orang saja. Berarti over kapasitasnya 300 persen. 

Jika mengacu pada berita di sejumlah media selain 41 narapidana yang tewas ada juga 8 orang luka berat dan 73 luka ringan.

Artinya seluruh narapidana yang saat itu terkurung di dalam sel terkena dampak musibah tersebut.

Apabila  ke depannya tidak dilakukan perubahan terutama dalam menyikapi over kapasitas, bukan tidak mungkin jika musibah dan bencana terjadi lagi, korban akan lebih banyak lagi.

Problem jumlah tahanan yang melebihi kapasitas penjara, merupakan sumber dari segala permasalahan di seluruh Lapas yang ada di Indonesia.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) per Februari 2021 jumlah narapidana yang menghuni Lapas di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 252.348 orang.

Sementara  itu kapasitas penjara hanya untuk 135.704 orang, over kapasitasnya rata-rata mencapai 208 persen.

Di kota-kota besar densitas narapidana berbanding kapasitas terpasang penjara berkisar 400 hingga 600 persen.

Menurut sejumlah penelitian kondisi ini membuat pihak pengelola penjara dalam hal ini Ditjenpas Kemenkum Ham menjadi sangat sulit.

Dengan kondisi overcrowded seperti itu, Standar prestasi minimal Kepala Lapas  (Kalapas) di Indonesia adalah mencegah kerusuhan dan pelarian narapidana terjadi, dan ini pun sangat tak mudah untuk dilakukan.

Mengingat jumlah sipir dan fasilitas penunjang di Lapas rasionya tak sebanding jumlah narapidana yang ada di Lapas.

Akibatnya pola pengendalian perilaku narapidana dalam penjara menjadi kurang tegas. Lantaran jika Kalapas bersikap tegas dan represif, ada ketakutan potensi konflik akan membesar.

Alhasil petugas lapas mencoba melakukan pendekatan informal dalam mengawasi dan mengendalikan narapidana.

Caranya, narapidan tertentu yang dianggap memiliki pengaruh dijadikan sebagai kepala blok, kepala kamar, atau pemuka dan tahanan pendamping atau tamping untuk mengendalikan narapidana lain.

Untuk menjadi pemuka dan tamping ini tentu saja ada kriteria tertentu termasuk di dalamnya ada isu harus "membayar" biaya tertentu pada petugas.

Nah, relasi-relasi informal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berbagai penyimpangan yang terjadi di Lapas.

Makanya tak heran jika di Lapas banyak terjadi transaksi-transaksi ilegal termasuk di dalamnya penjualan narkoba, masuknya barang-barang yang tak seharusnya ada seperti ponsel misalnya.

Kondisi overcrowded ini pula dianggap menjadi faktor yang menyulitkan apabila terjadi bencana seperti gempa bumi atau kebakaran seperti yang terjadi di Lapas Kelas I Tangerang kemarin.

Untuk hal ini juga berkaitan dengan faktor ketiga, yakni masalah kekurangan anggaran dan sumber daya manusia.

Untuk memiliki sistem mitigasi bencana  dan early warning system yang mumpuni itu membutuhkan anggaran yang tidak kecil.

Tak hanya untuk procurement barang fisiknya seperti alat pemadam kebakaran portabel tetapi juga pelatihan-pelatihan yang secara berkala seharusnya dilakukan kepada petugas.

Untuk anggaran di penjara sebenarnya ada standar minimal yang diatur secara internasional yang diadopsi oleh Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1955 melalui Resolusi tahun 1957.

Di dalam standar ini diantaranya disebutkan bahwa para narapidana setidaknya menempati sel sendirian dengan jendela yang cukup besar, penerangan yang memadai, air minum yang cukup dan makanan yang bergizi.

Dalam kondisi penjara overcrowded dan anggaran yang minim rasanya untuk memenuhi standar minimal internasional saja seperti pungguk merindukan bulan, alias hampir mustahil dilakukan.

Di Indonesia sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 64/PMK.02/2008 standar anggaran makan bagi para narapidana hanya Rp. 15.000 per hari pertahanan atau Rp. 5.000 sekali makan.

Coba bayangkan jenis dan lauk apa yang bisa dibeli dengan uang 5.000 rupiah itu? Sehingga memenuhi syarat bergizi.

Selain itu fasilitas penjara di Indonesia pun menjadi sangat minim akibat overcrowded itu, penerangan sudah hampir pasti minim, ventilasi apalagi ruangan yang seharusnya di isi 3 orang ini di isi 12 orang atau lebih.

Belum lagi perkara pelayanan kesehatan dan pembinaan para narapidana.

Masalah sumber daya manusia pun terbatas, saat ini menurut data dari Dirjenpas rata-rata rasio antara sipir dan narapidana di Lapas yang berada di wilayah hukum Indonesia sebesar 1 berbanding 6 bahkan di Kalimantan Barat 1 orang sipir harus mengawasi 100 narapidana akibat over kapasitas yang tak terkendali, padahal menurut standar internasional perbandingan idealnya 1:2,5 saja.

Anggaran dan sumber daya manusia di Dirjenpas ini memang terus ditingkatkan, tetapi tak akan berarti apapun lantaran over kapasitas terus terjadi.

Pembangunan Lapas dilakukan dimana-mana dengan anggaran yang tidak sedikit, menurut Menkumham Yasonna Laoly untuk membangun sebuah lapas sesuai standar kelayakan internasional dibutuhkan kurang lebih Rp.1 triliun rupiah.

Namun, dalam beberapa bulan saja lapas-lapas baru tersebut langsung penuh, jadi sebenarnya apa yang harus dilakukan agar lapas atau penjara ini jumlah penghuninya bisa terkendali.

Ya satu-satunya jalan dengan mengubah paradigma pemidanaan di Indonesia, lantaran Lapas adalah bagian hilir dari sebuah proses hukum yang hulunya berada dalam sistem hukum pemidanaan di Indonesia.

Ke depan pemerintah harus segera  memikirkan dan merumuskan alternatif hukuman menjadi tidak "penjara sentrik" salah dikit ditangkap terus dipenjara, agar overcrowding tak terus terjadi di Lapas kita.

Harus diingat, seperti yang dijelaskan oleh kriminolog University of Wisconsin Richard Quinney dalam Jurnal-nya "Crime Control in Capitalist Society: A Critical Philosophy of Legal Order" bahwa tindakan kejahatan tidak dapat dilihat murni semata-mata pelanggaran pidana lantaran faktanya ada juga yang dilakukan hanya untuk bertahan hidup.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Bapak Ilmu  kriminologi asal Belanda  Willem Adriaan Bonger  dalam disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul "Criminality and Economic Condition".

Ia menjelaskan bahwa banyak sekali kejahatan terjadi dan terpaksa harus dilakukan oleh seseorang lantaran  orang tersebut tidak beruntung secara ekonomi.

Nah, terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan seperti itu kedua kriminolog dunia itu berpendapat bahwa  hukuman penjara bukanlah putusan yang tepat.

Pun demikian pendapat yang diungkapkan oleh pakar hukum senior Indonesia yang juga mantan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi Profesor Jimly Ashiddiqi seperti dilansir Kompas.com.

Tak semua tindak pidana harus berakhir dengan penghukuman di penjara. Ia berpandangan sudah waktunya pendekatan peradilan di Indonesia diimbangi dengan pendekatan etika dan publik sehingga tak semuanya berujung di penjara

Lembaga Hukum Institute for Criminal and Justice (ICJR) memberi pernyataan senada, melalui penelitinya Maidina Rachmawati seperti dilansir CNNIndonesia menyatakan bahwa overcrowding Lapas di Indonesia disebabkan oleh sistem peradilan pidana di Indonesia terlalu terpaku pada hukuman pemenjaraan sebagai hukuman utama.

Padahal ada banyak alternatif hukuman lain yang bisa diputuskan hakim dalam mengadili perkara pidana.

"Pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan oleh jaksa dan hakim dari pada bentuk pidana lain," katanya.

Apalagi ternyata yang menjadi pesakitan di semua Lapas itu 50 persennya adalah kasus penyalahgunaan narkoba, yang sebagian besar diantaranya adalah pengguna seperti yang diungkapkan Yasonna Laoly dalam berbagai kesempatan.

Yang menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 semestinya mereka tidak dipenjara tetapi cukup direhabilitasi saja.

Tapi anehnya aparat hukum dalam hal ini polisi, jaksa, dan hakim lebih suka memenjarakan  pengguna narkoba, memang ada sih yang tak dipenjara dan dimasukan ke institusi rehabilitasi tetapi seperti khusus untuk kasus-kasus yang menimpa selebritis atau mereka yang memliki hepeng, nang ngadong hepeng ya monggo merasakan dinginnya berada di balik jeruji besi.

Presiden Jokowi dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRI-RI) diharapkan segera merilis aturan yang tegas terkait pemidanaan para pengguna narkoba agar tak memenuhi Lapas yang sudah luar biasa penuh itu.

Anggaplah ini sebagai pembuka  jalan bagi proses peradilan hukum pidana yang lebih berpihak pada restorative justice secara luas.

Sehingga nantinya, jika hukuman alternatif tersebut diberlakukan secara tegas, aliran narapidana ke Lapas-Lapas tak akan sederas saat ini ,dan over kapasitas penjara bisa terkendali.

Sebanyak apa pun penjara dibangun, dan sehebat apapun mitigasi bencana dan kebakaran dibuat tak ada jaminan tragedi Lapas Kelas I Tangerang yang menewaskan 41 narapidana yang hidup dan matinya berada di "tangan" negara tak akan terulang, jika over kapasitas masih terjadi di Lapas-Lapas Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun