Aksi "lone wolf" yang dilakukan oleh seorang perempuan muda bernama Zakiah Aini yang menyusup dan melakukan teror di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia.
Dan Bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makasar yang melibatkan YSF perempuan yang juga merupakan istri dari pelaku utama aksi teror tersebut.
Menurut para ahli terorisme hal ini menunjukan adanya perubahan peta aksi teror.Â
Gerakan mereka kini mulai bergeser menjadikan perempuan sebagai pelaku aktif atau eksekutor, tindakan yang biasa disebut amaliyah ini.
Perubahan peta aksi teror ini bisa terjadi, mungkin mengingat perempuan  bisa bergerak lebih mudah tanpa kecurigaan yang berlebihan dari pihak aparat keamanan yang berjaga di sekitar lokasi tempat aksi teror itu dilakukan.
Dan benar, kita semua acapkali terjebak pada stereotip bahwa perempuan itu secara naluriah cinta damai dan diposisikan sebagai korban yang mudah diperdaya.
Padahal secara psikologis perempuan itu sebenarnya"lebih kuat imannya" dibandingkan laki-laki. Karena menurut seorang  peneliti Center for the Middle East and Global Peace Studies UIN Jakarta, Lies Marcoes, seperti dilansir BBC.
Hal ini bisa terjadi lantaran terkadang lelaki lebih banyak memikirkan hal-hal duniawi. Urusan dunia yang dimaksudkan adalah perasaan berat meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Sebelum terjadi perubahan peta teror, biasanya perempuan hanya menjadi faktor pendorong yang cenderung pasif.
Mereka hanya dimanfaatkan oleh jaringannya karena loyal, setia, dan patuh terhadap suami dan ajaran agama.
Di Indonesia perubahan pola teror yang melibatkan peran perempuan sebagai eksekutor mulai terlihat saat bom panci yang tadinya akan diledakan oleh Dian Yulia Novi di Istana Negara.
Namun aksi itu berhasil digagalkan aparat keamanan setelah rumah kontrakannya di Bekasi digerebek Densus 88.
Dian kini tengah menjalani masa hukuman setelah di vonis hukuman penjara selama 7,5 tahun oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tahun 2017 lalu.
Kemudian saat terjadi bom bunuh diri di Surabaya, sepasang suami istri yang kemudian mengajak ke-3 anak-anaknya untuk turut serta dalam kegiatan amaliyah yang dilakukan di 3 gereja berbeda di Surabaya.
Peran perempuan dalam terorisme terlihat sangat jelas sekali disini.Â
Menurut Lies, meskipun Dita sang suami yang merupakan salah satu tokoh JAD bisa dianggap memprakarsai tindakan amaliyah tersebut.
Namun akan sangat berbeda jika sang istri keberatan atau menolak pandangan suaminya untuk melakukan aksi teror tersebut.Â
Dari sini banyak kajian yang menyebutkan bahwa pola  pendekatan  terhadap keterlibatan perempuan dalam terorisme sudah mulai berubah.
Mereka mulai melakukan redefinisi keterlibatan perempuan dalam kelompok teroris. Menurut Lies dalam Jurnal yang ditulisnya di Indonesia at Melbourne berjudul "Why do Women Join Radical Grup".
Kini perempuan terutama yang berusia muda dalam lingkup kelompok radikal merasa memiliki agenda sendiri untuk ikut berjuang dengan caranya.
Di sejumlah negara Eropa misalnya, banyak perempuan-perempuan muda menghilang dari keluarganya dengan alasan cukup mengejutkan.
Mereka meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan kelompok teroris yang memiliki landasan ideologi seperti ISIS atau menikah dengan lelaki yang berasal dari kelompok itu.
Jika mereka tak ikut bergabung langsung di daerah konflik, perempuan-perempuan tersebut memilih "berjihad" di negerinya sendiriÂ
Walaupun sebenarnya jika kita melihat jauh ke belakang di wilayah konflik Timur Tengah dan di Asia Selatan keterlibatan perempuan sebagai eksekutor teror telah terjadi sejak lama.
Namun tentu saja ada perbedaan mendasar antara teror masa kini dengan masa lalu, seperti ideologi dan niat yang mendasarinya serta teknologi informasi yang melatarinya.
Menurut Jessica Devis dalam Jurnal-nya berjudul "Evolution of The Global Jihad: Female Suicide Bombers in Iraq"
Perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri mulai ada sejak tahun 1960-an, sejak saat itu populasi pelakunya terus meningkat.
Selama tahun 1995 hingga 2006, 15 persen pelaku serangan bunuh diri yang terjadi di dunia dilakukan oleh perempuan. Salah satu Organisasi "teroris" yang paling awal menggunakan perempuan sebagai martir adalah Boko Haram, organisasi teroris asal Nigeria.
Mereka pula lah yang disebut pihak yang paling sering menggunakan perempuan sebagai eksekutor dalam tindakan terornya.
Kemudian ada Macan Pembebasan Tamil  Elaam di Srilanka dan Bangladesh. Sementara kelompok-kelompok terorisme kontemporer  semacam Al Qaida dan ISIS misalnya, baru belakangan menggunakan perempuan sebagai eksekutor.
Lantaran dalam organisasi terorisme berlatar "penyalahgunaan agama Islam" perempuan dianggap tak berperan signifikan, mereka hanya pelaku jihad kecil, meski kini polanya mulai berubah.
Makanya perempuan jika menilik sejarah teror lebih banyak berperan dalam organisasi yang berideologi kiri, karena kondisinya cenderung kondusif bagi partisipasi perempuan dalam peran kombatan dan peran non-tradisional lainnya.
Namun demikian seiring perjalanan waktu, semua organisasi kini mulai membuka diri terhadap partisipasi perempuan dalam peran kombatan.
Tetapi tetap saja kelompok fundamentalis Islam paling sedikit menggunakan perempuan sebagai kombatan yang secara langsung aktif melakukan aksi teror.
Menurut Robert A Pape dalam bukunya "Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism". Â Terdapat banyak variasi perempuan yang menjadi ekskutor teror termasuk di dalamnya pelaku bom bunuh diri.
Dari segi usia misalnya, pelaku bom bunuh diri perempuan mengikuti tren usia yang sama dengan pria, mereka biasanya berusia awal hingga pertengahan 20-an.
Sebenarnya mereka cenderung lebih sekuler dibandingkan yang diperkirakan dengan status sosial yang sangat variatif.
Lantas kenapa trend dan pola aksi-aksi perempuan menjadi eksekutor terus meningkat?
Terdapat sejumlah alasan mengapa perempuan menjadi kini lebih sering digunakan sebagai pelaku bom bunuh diri oleh kelompok teroris.
Mereka dianggap sebagai senjata berisiko rendah, tak terlalu membutuhkan teknologi tinggi dan tentu saja biayanya pun sangat minimal.
Mereka juga tak membutuhkan banyak pelatihan, asal cuci otak berhasil dilakukan. Kemudian ya berkaitan dengan stereotip jender, perempuan yang dianggap lemah tak mungkin melakukan kekerasan, menjadi keuntungan tersendiri.
Dalam teknis pelaksanaan pun perempuan lebih diuntungkan. Ketika melewati pemeriksaan keamanan misalnya mereka akan lebih mudah, bisa saja perempuan tersebut berpura-pura hamil.
Padahal di dalam "kandungannya" itu berisi bom, dengan kondisi hamil sudah hampir dapat dipastikan ia tak diperiksa aparatÂ
Kemudian ia pun bisa berpakaian tak "Islami" untuk menyamarkan identitasnya agar tak dicurigai. Dan untuk masalah ekspos media, eksekutor perempuan pun sangat tinggi seperti yang diharapkan oleh mereka.
Menurut sejumlah penelitian pelaku aksi teror perempuan diliput 8 kali lebih banyak daripada di lakukan oleh lelaki.
Selain itu karena adanya faktor kejutannya itu efektifitasnya pun sangat tinggi. Â Rata-rata eksekusi yang dilakukan wanita menghasilkan korban 4 kali lebih banyak dibanding pria.
Sementara mengenai motivasi individu para perempuan eksekutor itu selain ideologi,politik dan keberhasilan cuci otak.
Para perempuan terkadang memiliki motivasi lain seperti dendam akibat kehidupan sosialnya yang mereka alami dianggap oleh mereka tak adil.
Selain itu, masalah konsep budaya yang sangat tak adil bagi mereka seperti yang terjadi di Srilanka. Sehingga mereka mengejar semacam pembebasan diri dari belenggu ketidakadilan budaya.
Di Srilanka, tingkat pemerkosaan sangat tinggi, dan para perempuan Tamil korban pemerkosaan secara budaya dilarang menikah dan memiliki anak.
Makanya tak heran mereka kemudian bergabung menjadi anggota Macan Tamil dan melakukan aksi teror.
Artinya untuk memahami mengapa perempuan termotivasi untuk melakukan aksi teror harus dilihat dalam konteks budaya yang ada disekitarnya.
Di Indonesia sendiri, perempuan diberdayakan sebagai eksekutor dan berhasil melakukannya saat rentetan bom di 3 gereja di Surabaya pada 2018 lalu.
Puji Kuswati seorang ibu yang beserta anak-anaknya melakukan bom bunuh diri atas dasar agama dan ideologi yang diyakininya.
Baru kemudian YSF bom bunuh diri di Makasar dan terakhir aksi "bunuh diri" Zakiah Aini yang terjadi beberapa hari yang lalu.
Namun ada hal berbeda dalam kasus Zakiah ini, tak seperti yang terjadi pada para pelaku teror lain di Indonesia yang kebanyakan terpapar virus radikalisme lantaran sengaja ditulari lewat sejumlah proses infeksi isme-isme radikal, yang kemudian menjadikan aksi tersebut bisa ditelisik afiliasi kelompok terornya.
Zakiah Aini ini menurut pengamat intelejen dan keamanan negara, seperti dilansir CNNIndonesia benar-benar "Lone Wolf", tak terafiliasi dengan kelompok manapun.
Biasanya hal ini bisa terjadi melalui proses swaradikalisasi. Sumber informasinya ia dapatkan berasal dari medium-medium digital yang mudah diakses seperti internet dan lainnya.
Nah ini lah yang harus benar-benar dicermati oleh para pemangku kepentingan di bidang penanggulangan teroris di Indonesia.
Dan harus benar-benar diwaspadai oleh seluruh masyarakat Indonesia. Lantaran potensi eskalasi para pelaku teror lone wolf ke depan akan terus terjadi seperti yang diungkapkan oleh pengamat terorisme Sidney Jones.
"Pasti ada lone wolf lagi dan pasti ada perempuan lagi," kata Sidney.
Ia meyakini, meski lone wolf jarang terjadi di Indonesia selama ini, ia melihat ke depan trend-nya bisa terjadi pergeseran terutama dalam isu aksi teror dikalangan perempuan.
Dan ada satu hal lain, nuansa teror yang dilakukan oleh Zakiah Aini ini lebih bersifat personal, sehingga patut dicermati juga oleh pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H