Tetapi tetap saja kelompok fundamentalis Islam paling sedikit menggunakan perempuan sebagai kombatan yang secara langsung aktif melakukan aksi teror.
Menurut Robert A Pape dalam bukunya "Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism". Â Terdapat banyak variasi perempuan yang menjadi ekskutor teror termasuk di dalamnya pelaku bom bunuh diri.
Dari segi usia misalnya, pelaku bom bunuh diri perempuan mengikuti tren usia yang sama dengan pria, mereka biasanya berusia awal hingga pertengahan 20-an.
Sebenarnya mereka cenderung lebih sekuler dibandingkan yang diperkirakan dengan status sosial yang sangat variatif.
Lantas kenapa trend dan pola aksi-aksi perempuan menjadi eksekutor terus meningkat?
Terdapat sejumlah alasan mengapa perempuan menjadi kini lebih sering digunakan sebagai pelaku bom bunuh diri oleh kelompok teroris.
Mereka dianggap sebagai senjata berisiko rendah, tak terlalu membutuhkan teknologi tinggi dan tentu saja biayanya pun sangat minimal.
Mereka juga tak membutuhkan banyak pelatihan, asal cuci otak berhasil dilakukan. Kemudian ya berkaitan dengan stereotip jender, perempuan yang dianggap lemah tak mungkin melakukan kekerasan, menjadi keuntungan tersendiri.
Dalam teknis pelaksanaan pun perempuan lebih diuntungkan. Ketika melewati pemeriksaan keamanan misalnya mereka akan lebih mudah, bisa saja perempuan tersebut berpura-pura hamil.
Padahal di dalam "kandungannya" itu berisi bom, dengan kondisi hamil sudah hampir dapat dipastikan ia tak diperiksa aparatÂ
Kemudian ia pun bisa berpakaian tak "Islami" untuk menyamarkan identitasnya agar tak dicurigai. Dan untuk masalah ekspos media, eksekutor perempuan pun sangat tinggi seperti yang diharapkan oleh mereka.